MALAM JUMAT RIKO (1)
Oleh: Achmad Marzuqi
Tak pernah terbersit dalam benak Riko untuk
hidup di dalam jeruji suci. Sebuah tempat yang mempunyai bangunan-bangunan
kokoh berlapis tembok. Ruang-ruang tampak berjajar rapi, lengkap dengan kursi
dan meja belajarnya, seperti kompleks sekolah.
Yang dia rasakan saat ini dia berkumpul
dengan anak-anak seusianya, yang belum pernah dia kenal sebelumnya, baru. Pakaian
yang dia pakai pun sudah berubah. Biasanya dia memakai pakaian bebas semaunya,
kecuali jika hendak berangkat sekolah Dasar di pagi hari dan berangkat ke Taman
Pendidikan Al Quran di sore hari. Kini, hanya tiga jenis pakaian yang dia
pakai, jubah putih lengkap dengan pecinya, baju seragam tidur dan seragam
sekolah, MI.
“Ko, hati-hati ya di sana nanti. Taati segala
peraturan yang ada. Ayah dan ibumu mendoakan dari sini,” pesan ibunya.
Malam Jumat Riko 1 #Al Khairiyah |
Di umurnya yang masih belia, 8 tahun. Riko belum
bisa merasakan apa yang ibunya rasakan di balik ketegaran pesannya. Sebuah kecupan
sayang dari sang ibu mendarat persis di keningnya. Sementara sang ayah hanya
bisa mengelus rambutnya, mendoakan.
Tidak ada tas yang dia bawa, tidak pula koper
besar layaknya orang bepergian jauh. Hanya kantong kresek merah berisi sarung untuk
sholat, dua setel pakaian ganti dan uang sebesar 11.000 rupiah. Murah. Sangat murah.
Perjalanan yang begitu jauh untuk ukuran anak
seumurannya, Nganjuk-Sukabumi.
Dan rombongan itupun berangkat, rombongan
anak-anak berjumlah 33 orang, dengan 3 atau 4 orang panitia pendamping.
“Ini talia rapia merah, jangan sampai lepas. Karena
tali ini menjadi tanda rombongan ini,” kata seorang panitia seraya menalikannya
pada pergelangan tangan kanan kami, sesaat setelah kereta api berangkat.
Dan hari itupun dimulai.
Sebuah pembelajaran pesantren berbasis
tahfizhul quran dengan metodenya yang begitu ketat dan padat.
Mengaji dan menghafal Al Quran di setiap
selesai shalat lima watu dengan durasi waktu yang telah terjadwal rapi, pagi
harinya dia menjalani kegiatan belajar seperti umumnya anak-anak di luar,
sekolah Madrasah Ibtidaiyah.
Menyenangkan sekaligus menegangkan, menguras
air mata sekaligus memunculkan canda dan tawa.
“Asal tahu aja ya, di sana kayak surga lho. Makan
disediakan, pakaian kotor dicucikan, kalau ada yang nangis malah dikasih susu,
mau jajan ada semuanya. Pokoknya tinggal belajar, menghafal dan menghafal,”
bujuk Pak Hudi, guru TPQ di kampung Riko melihat keraguan Riko yang mulai muncul.
“Riko takut Pak, nggak punya teman,”
ujar Riko memelas.
“Kamu jangan takut Ko, banyak teman di sana
ntar. Lagian dari sini kamu tidak akan sendiri. Ada Fuad yang juga ikut
berangkat bersama kamu,” terang Pak Hudi.
Keberangkatan keduanya dari TPQ diiringi
dengan doa dari semua guru dan santri.
“Kita sangat bangga dengan kalian berdua,
karena dari seleksi di kecamatan minggu kemarin. Hanya kalian yang lolos
mewakili TPQ ini,” kata Pak Anshori, pengelola TPQ berapi-api.
“Bayu, ayo dimakan nasinya,” Bi Huriyah
berjalan mendekati anak-anak yang sedang makan.
Bayu masih terdiam, merunduk dan makin
merunduk.
“Kenapa Bayu? Ibu suapin ya,” Bi Huriyah
mengambil piring milik Bayu bersiap menyuapi. Bayu malah menangis.
“Bayu kenapa?” Bi Huriah menatap satu persatu
anak-anak yang sedang makan. Mencari jawaban
“Bayu kangen rumah Bi,” Riko memberanikan
diri, menjawab pertanyaan bibi.
“Oh, kangen rumah to. Gakpapa Yu. Ada bibi di
sini,” kata bibi sambil menyeka air mata Bayu dengan kedua ibu jarinya, lembut.
Bi Huriyah yang biasa dipanggil bibi oleh
anak-anak memang ditugaskan menjadi baby sitter di asrama lelaki. Perangainya
yang lembut, penyayang dan perhatian membuat dirinya menjadi tempat curhat
anak-anak. Rasa kangen orangtua yang sering timbul, sedikit terobati dengan kehadiran
beliau. Dan itulah yang dirasakan anak-anak selama hampir sepekan di sini.
“Besok
malam, setelah maghrib kita tidak ada jam belajar di kelas,” bibi memberi
pengumuman di sela-sela waktu menidurkan anak-anak.
“Horeee,” teriak anak-anak kompak.
“Kita libur, kita libur,” sambut yang lain
girang.
“Dengerin dulu, bibi belum selesai bicara,”
kata Bi Huriyah sabar.
Suasana mendadak diam
“Besok kalian harus berangkat sebelum maghrib. Pastikan tidak ada yang telat.”
“Ke mana bu?” tanya Fuad mewakili anak-anak
(bersambung)
Nganjuk, 12
Feb 2016
0 ulasan:
Catat Ulasan