Sejam berlalu, kulirik jam digital yang melilit di tanganku, pukul 14.50. Aku lihat jalanan di luar, jalanan berliku dengan perumahan yang jarang, aku pertajam penglihatan mataku berharap membaca alamat di pinggir jalan. Mana rel kereta apinya, mana daerah randunya? “Malang”, sebuah tulisan yang membuat diriku kaget bercampur bingung. Aku kebablasan, bagaimana ini terjadi? Ingin rasanya aku berjalan ke depan melewati kursi-kusi penumpang, tetapi posisi tempat duduk kurang menguntungkan. Aku sendirian, di kursi panjang paling belakang. Kebingungan. Mau turun di tengah jalan, tetapi takut melihat jalanan Malang yang berliku, bagaiman nanti kalau nggak ada bus kembali ke Jombang. Bagaimana nanti kalau nggak ada tempat berteduh, dan bagaimana bagaimana lainnya menghantui pikiranku. Kembali aku ingin berjalan mendatangi kondektur di depan tetapi rasa malu mengalahkan segalanya. Kakiku terasa kaku. Padahal aku tahu kalau malu bertanya sesat di jalan. Rasa khawatirku jauh lebih besar daripada keberanianku. Jalanan yang berliku, jarang perumahan penduduk dan diapit bukit berjurang menenggelamkan keberanianku. Biarlah, cari aman saja, hingga terminal yang paling dekat. Pikirku. Sungguh malang nasibku di kota Malang ini, aku terpaksa menonaktifkan HP, khawatir ngedrop saat dibutuhkan. Aku menikmati keindahan alam dari pinggiran jendela bus dengan rasa galau, mengkhayal dan menggerutu. Aku menyesali keputusaan konyolku untuk mencari yang aman saja. Malam ini aku batal bertemu dengan calon mertuaku—bukan apa-apa. Aku hanya khawatir ada pikiran yang tidak-tidak dari mereka yang datang dengan sengaja dari Surabaya. Aku khawatir kondisi Emakku yang masih belum sembuh dari sakitnya. Aku kawatir dia memikirkan keberadaan anaknya yang tersesat jauh di sana. Perjalanan yang melelahkan, pukul 18.00 kudengar azan maghrib mengalun dari beberapa masjid di pinggiran kota Malang. Astaghfirullah, aku belum shalat ashar. Tak apalah, musafir. Nanti akan aku qadha. Tak berapa lama, sampai juga di terminal Malang, Landungsari. Segera aku turun untuk mencari bus yang lain, jurusan Malang-Jombang. “Ayo Jombang terakhir” teriak seorang dari pinggir bus, tak ada pilihan, aku harus segera pulang. Orang pergi ke Malang untuk bersenang-bersenang, untuk rekreasi sedang aku, hanya transit saja. Pindah bus. Aku merasa perjalananku kali ini begitu banyak mengandung pelajaran, betapa pentingnya mengambil keputusan di saat-saat bimbang, berani bertindak cepat dan tepat, menghilangkan prasangka buruk dan rasa malu yang terkadang bukan pada tempatnya, berani mengambil resiko dan banyak lagi. Alhamdulillah, sampai juga di rumah setelah melakukan perjalanan selama kurang lebih sembilan jam. “Yang penting kamu selamat nak.” Emakku memberikan komentar saat aku menceritakan kronologi kejadian sebenarnya. Padahal jika di hitung secara normal Pare-Kertosono hanya membutuhkan waktu sejam dengan kendaraan umum. Hanya gara-gara tidak segera mengambil tindakan, benar kata pepatah kalau malu bertanya sesat di jalan. Semoga tidak terulang. Nganjuk, 06 01 2016
Berkarya bersama memberi manfaat untuk sesama dalam blog Bengkel Cerita Bisnis dan Cinta.
Rabu, 6 Januari 2016
Nasib Malang di Kota Malang
#Mau Bertanya Nggak Sesat di Jalan #AskBNI.
Oleh : Achmad Marzuqi
“Pokoknya pulang dulu saja, biar urusan kamu cepat selesai.” Omongan panjang kakak perempuanku, Mbak Choir dari seberang telepon menghapus segala kebimbanganku, pulang ataukah bertahan di kosan, Pare.
Menunggu di halte bus menjadi sesuatu yang membosankan, tetapi kebosananku hilang kala aku bertemu dengan Deby, Zum dan Merry di jalan. Sungguh menyenangkan bertemu dengan mereka hingga sebuah bus berhenti di pinggir jalan, “ini lewat Jombang Mas, naik saja.” kata penjual jus buah di pinggir halte. “Makasih Pak,” kataku padanya. Tak lupa aku pamitan pada tiga teman satu kursusan ku.
Bismillah, patokan pemberhentianku jelas. Daerah Randu seberang rel kereta api. “Randu Mas.” Kataku pada kondektur sambil menyerahkan selembar uang lima puluh ribu. Aku mengumpat dalam hati kala uang kembalian hanya tiga puluh ribu. Seminggu lalu masih sepuluh ribu, sekarang? Protes urung kulakukan dan aku hanya bisa husnuzhon saja.
Sejam berlalu, kulirik jam digital yang melilit di tanganku, pukul 14.50. Aku lihat jalanan di luar, jalanan berliku dengan perumahan yang jarang, aku pertajam penglihatan mataku berharap membaca alamat di pinggir jalan. Mana rel kereta apinya, mana daerah randunya? “Malang”, sebuah tulisan yang membuat diriku kaget bercampur bingung. Aku kebablasan, bagaimana ini terjadi? Ingin rasanya aku berjalan ke depan melewati kursi-kusi penumpang, tetapi posisi tempat duduk kurang menguntungkan. Aku sendirian, di kursi panjang paling belakang. Kebingungan. Mau turun di tengah jalan, tetapi takut melihat jalanan Malang yang berliku, bagaiman nanti kalau nggak ada bus kembali ke Jombang. Bagaimana nanti kalau nggak ada tempat berteduh, dan bagaimana bagaimana lainnya menghantui pikiranku. Kembali aku ingin berjalan mendatangi kondektur di depan tetapi rasa malu mengalahkan segalanya. Kakiku terasa kaku. Padahal aku tahu kalau malu bertanya sesat di jalan. Rasa khawatirku jauh lebih besar daripada keberanianku. Jalanan yang berliku, jarang perumahan penduduk dan diapit bukit berjurang menenggelamkan keberanianku. Biarlah, cari aman saja, hingga terminal yang paling dekat. Pikirku. Sungguh malang nasibku di kota Malang ini, aku terpaksa menonaktifkan HP, khawatir ngedrop saat dibutuhkan. Aku menikmati keindahan alam dari pinggiran jendela bus dengan rasa galau, mengkhayal dan menggerutu. Aku menyesali keputusaan konyolku untuk mencari yang aman saja. Malam ini aku batal bertemu dengan calon mertuaku—bukan apa-apa. Aku hanya khawatir ada pikiran yang tidak-tidak dari mereka yang datang dengan sengaja dari Surabaya. Aku khawatir kondisi Emakku yang masih belum sembuh dari sakitnya. Aku kawatir dia memikirkan keberadaan anaknya yang tersesat jauh di sana. Perjalanan yang melelahkan, pukul 18.00 kudengar azan maghrib mengalun dari beberapa masjid di pinggiran kota Malang. Astaghfirullah, aku belum shalat ashar. Tak apalah, musafir. Nanti akan aku qadha. Tak berapa lama, sampai juga di terminal Malang, Landungsari. Segera aku turun untuk mencari bus yang lain, jurusan Malang-Jombang. “Ayo Jombang terakhir” teriak seorang dari pinggir bus, tak ada pilihan, aku harus segera pulang. Orang pergi ke Malang untuk bersenang-bersenang, untuk rekreasi sedang aku, hanya transit saja. Pindah bus. Aku merasa perjalananku kali ini begitu banyak mengandung pelajaran, betapa pentingnya mengambil keputusan di saat-saat bimbang, berani bertindak cepat dan tepat, menghilangkan prasangka buruk dan rasa malu yang terkadang bukan pada tempatnya, berani mengambil resiko dan banyak lagi. Alhamdulillah, sampai juga di rumah setelah melakukan perjalanan selama kurang lebih sembilan jam. “Yang penting kamu selamat nak.” Emakku memberikan komentar saat aku menceritakan kronologi kejadian sebenarnya. Padahal jika di hitung secara normal Pare-Kertosono hanya membutuhkan waktu sejam dengan kendaraan umum. Hanya gara-gara tidak segera mengambil tindakan, benar kata pepatah kalau malu bertanya sesat di jalan. Semoga tidak terulang. Nganjuk, 06 01 2016
Sejam berlalu, kulirik jam digital yang melilit di tanganku, pukul 14.50. Aku lihat jalanan di luar, jalanan berliku dengan perumahan yang jarang, aku pertajam penglihatan mataku berharap membaca alamat di pinggir jalan. Mana rel kereta apinya, mana daerah randunya? “Malang”, sebuah tulisan yang membuat diriku kaget bercampur bingung. Aku kebablasan, bagaimana ini terjadi? Ingin rasanya aku berjalan ke depan melewati kursi-kusi penumpang, tetapi posisi tempat duduk kurang menguntungkan. Aku sendirian, di kursi panjang paling belakang. Kebingungan. Mau turun di tengah jalan, tetapi takut melihat jalanan Malang yang berliku, bagaiman nanti kalau nggak ada bus kembali ke Jombang. Bagaimana nanti kalau nggak ada tempat berteduh, dan bagaimana bagaimana lainnya menghantui pikiranku. Kembali aku ingin berjalan mendatangi kondektur di depan tetapi rasa malu mengalahkan segalanya. Kakiku terasa kaku. Padahal aku tahu kalau malu bertanya sesat di jalan. Rasa khawatirku jauh lebih besar daripada keberanianku. Jalanan yang berliku, jarang perumahan penduduk dan diapit bukit berjurang menenggelamkan keberanianku. Biarlah, cari aman saja, hingga terminal yang paling dekat. Pikirku. Sungguh malang nasibku di kota Malang ini, aku terpaksa menonaktifkan HP, khawatir ngedrop saat dibutuhkan. Aku menikmati keindahan alam dari pinggiran jendela bus dengan rasa galau, mengkhayal dan menggerutu. Aku menyesali keputusaan konyolku untuk mencari yang aman saja. Malam ini aku batal bertemu dengan calon mertuaku—bukan apa-apa. Aku hanya khawatir ada pikiran yang tidak-tidak dari mereka yang datang dengan sengaja dari Surabaya. Aku khawatir kondisi Emakku yang masih belum sembuh dari sakitnya. Aku kawatir dia memikirkan keberadaan anaknya yang tersesat jauh di sana. Perjalanan yang melelahkan, pukul 18.00 kudengar azan maghrib mengalun dari beberapa masjid di pinggiran kota Malang. Astaghfirullah, aku belum shalat ashar. Tak apalah, musafir. Nanti akan aku qadha. Tak berapa lama, sampai juga di terminal Malang, Landungsari. Segera aku turun untuk mencari bus yang lain, jurusan Malang-Jombang. “Ayo Jombang terakhir” teriak seorang dari pinggir bus, tak ada pilihan, aku harus segera pulang. Orang pergi ke Malang untuk bersenang-bersenang, untuk rekreasi sedang aku, hanya transit saja. Pindah bus. Aku merasa perjalananku kali ini begitu banyak mengandung pelajaran, betapa pentingnya mengambil keputusan di saat-saat bimbang, berani bertindak cepat dan tepat, menghilangkan prasangka buruk dan rasa malu yang terkadang bukan pada tempatnya, berani mengambil resiko dan banyak lagi. Alhamdulillah, sampai juga di rumah setelah melakukan perjalanan selama kurang lebih sembilan jam. “Yang penting kamu selamat nak.” Emakku memberikan komentar saat aku menceritakan kronologi kejadian sebenarnya. Padahal jika di hitung secara normal Pare-Kertosono hanya membutuhkan waktu sejam dengan kendaraan umum. Hanya gara-gara tidak segera mengambil tindakan, benar kata pepatah kalau malu bertanya sesat di jalan. Semoga tidak terulang. Nganjuk, 06 01 2016
Pengalaman yang menarik untuk pembelajaran hidup !
BalasPadamSemoga sukses !
Salam Persahabatan dari One SM
http://iwansmtri.blogspot.co.id/2015/12/bni46-askbni-fitur-cerdas-bagi-orang.html
Oke, siip. Amiiin
BalasPadamSalam kenal