Mengenang Almarhum Ayah Sahabatku
di mana saja
kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, Kendatipun kamu di dalam benteng
yang Tinggi lagi kokoh (Qs. An Nisa: 78)
Ajal, adalah satu di antara empat
perkara yang telah ditetapkan Allah sejak lahir. Bahkan jauh sebelum lahir,
ketika makhluk yang disebut manusia itu masih bebentuk segumpal darah yang
berumur 120 hari dalam kandungan.
Ajal menjadi perkara yang tidak
dapat dimundurkan kedatangannya, tidak pula dimajukan.
Benteng yang kokoh, gedung yang
tinggi, hotel yang mewah Rumah Sakit VIP atau tempat yang paling aman sekalipun
tidak akan mempu menghadang kedatangan ajal, jika waktunya telah tiba. Gubuk yang
reot, rumah susun, rumah minimalis juga sama. Dan itu yang telah dialami oleh
ayah sahabatku, hari ini.
Habib, Ahmad, Amir, Zaid. #Kitasahabat |
Namanya Amirul Mukminin, aku
mulai mengenal sahabatku saat bersama-sama di pesantren, Sukabumi, 1996.
Sama-sama di bawah satu naungan atap, sama-sama dalam satu kelas, MI, MTs, MA
hingga sama-sama maju dalam satu naungan kampus, Syamsul Ulum.
Babak cerita itupun dimulai,
cerita suka ketika dinyatakan lulus sekolah, cerita suka kala mendengar
nama-nama kita dipanggil sebagai wisudawan tahfizh Al Quran hingga cerita suka
saat kita secara bersamaan lulus sebagai mahasisswa terbaik dalam satu jurusan.
Namun, ibarat mentari pagi yang
tidak akan muncul kecuali setelah gelap malam. Atau cahaya purnama yang sempurna,
yang tak muncul sepanjang bulan. Tidak ada yang instan. Tidak ada yang mudah. Hasil-hasil
indah itu ada, setelah proses perjuangan, kala masih berstatus santri, hingga
mahasiswa sampai menjadi guru.
“Maafin kesalahan bapak selama
ini ya, selama beliau hidup,”
“kenapa beliau?” tanyaku sedikit
menguap. Maklum saat aku lirik jam tanganku sudah pukul 00.20, larut malam.
“Beliau meninggal barusan,”
“Innalillahi wa inna ilaihi
rojiun,” jawabku lirih. Aku bisa merasakan kesedihan yang sahabatku rasakan
ini, kesedihan yang terpancar dari kata-katanya lewat telepon.
Seperti tak percaya, sebelumnya
aku mampir ke rumahnya karena sebuah urusan. Dan almarhum adalah orang yang tak
pernah sungkam untuk ikut ngobrol, bercengkrama, guyon. Serasa ketemu Kyai
kondang Anwar Zahid kalau lihat beliau. Kini semua itu hanya tinggal cerita.
Ingatanku melayang pada medio
April tahun 2006 silam. Sebuah kisah yang hampir mirip, saat kesedihan melanda
gegara ditinggal orang yang paling aku cinta, my pappy, my father.
“Kamu nggak pulang, udah aja
belajar di sana,” kata kakakku.
“Tapi aku benar-benar ingin
pulang,” kataku mengiba.
“Udah, nggak usah. Di sini sudah
banyak yang mengurus,” kakakku bersikeras.
Tak ada pilihan. Memang saat itu
merupakan saat-saat krusial untuk pulang kampung. Sukabumi-Nganjuk bukan jarak
yang dekat. Dan aku sedang berjuang untuk bisa lulus menembus UAN MAN.
Sepatutnya aku lebih bersyukur
berada di posisi ketujuh dari 10 bersaudara. Ada banyak yang mengurus. Sementara
sahabatku ini ada di posisi kedua dari 4 bersaudara.
Setali tiga uang dengan sahabatku
yang lain, Abdul Jalil. Bahkan ayahnya telah meninggalkannya saat dia masih
belajar di kelas 1 MTs. 2001. Persis enam tahun sebelum ayahku wafat. Umur yang seharusnya masih merasakan belaian kasih
seorang ayah.
Tapi itulah ajal. Datang tak
diundang, perginya diantar.
Kini hanya sebuah doa yang bisa
aku panjatkan untuknya, almarhum.
اللهُمّ اغْفِرْلَه وارْحمه وعافه واعْف عنه
،،،،،،
Setidaknya
apa yang disabdakan Nabi Muhammad SAW ini bisa menjadi sebuah penghibur
“Sungguh
menakjubkan perkara orang yang beriman. Sesungguhnya semua perkara merupakan
kebaikan bagi dirinya. Dan tidak didapati bagi seorangpun akan hal ini kecuali bagi orang mukmin. Jika dia mendapat nikmat dia BERSYUKUR maka itu menjadi kebaikan
bagi dirinya. Jika dia ditimpa bencana, di BERSABAR maka demikian itu juga
kebaikan bagi dirinya.” (HR. Muslim)
Nganjuk, 14 Februari 2016
Tiada ulasan:
Catat Ulasan