Aku Kau dan Malam Minggu
Jika cinta
memanggilmu maka dekatilah dia
Walau
jalannya terjal berliku
Jika cinta
memelukmu maka dekaplah dia
Walau pedang
disela-sela sayapnya melukaimu (Kahlil Gibran)
Semilir angin mendesir segar
terasa, dedaunan pohon melambai indah berirama, burung-burung terlihat
berloncatan asyik bercengkrama. Seakan ingin menemaniku yang sedang duduk
mengguratkan pena.
“Bang, sudah beres puisinya?” tanya
Jaka yang membaca buku tak jauh dariku.
“Belum Ka, sebentar lagi,”
kataku, “kehabisan ide.”
“Kata abang, pematang sawah
adalah sumber inspirasi yang sempurna untuk merangkai kata.”
“Ya Ka, tinggal 10 persen lagi,”
jawabku sedikit menerka.
Aku menengadah ke atas, kulihat langit
di ufuk barat semakin berwarna jingga, sementara gumpalan awan gelap hampir
menelan bulat-bulat matahari yang tak berdaya, maghrib.
“Ayo kita pulang,” ajakku pada
Jaka.
Tak butuh waktu lama untuk mencapai kosan,
rumah sementara kami tinggal. Kosan yang letaknya cukup strategis menurutku.
Mudah diakses, di pinggir jalan, tak jauh dari masjid dan yang pasti mewah,
mepet sawah.
Akankah malam mingguku ini
kembali indah?
Secarik kertas telah aku siapkan
untuk malam sepesial ini.
Aku Kau dan Malam Minggu - achmad marzuqi |
“Memang kenapa kalau di kamar
Madam?” tanyaku.
“Kamu sudah belajar full selama
seminggu kan Kin, ada baiknya refreshing
di luar layaknya anak-ana muda zaman sekarang gitu lho,” jelas Madam sedikit
bercanda.
Saat itu aku yang baru seminggu
di tempat kursus hanya bisa tersenyum. Bukan karena tidak tertarik, ataupun
tidak suka dengan dunia malam. Namun karena tujuanku hanya belajar dan belajar,
tidak sedikitpun terlintas untuk menghibur diri.
“Aku harus memegang teguh prinsipku.
Ingat tujuanmu!” aku berusaha menasehati
diri.
Kulanjutkan aktifitas di kamarku
yang sedikit tertunda, menulis. Selain handphone nokia jadul, balpen PILOT dan
buku tulis Sinar Dunia berisi 38 lembar menjadi barang yang amat berharga di
sini.
Baru tiga minggu aku sudah
menghabiskan tiga buah balpen PILOT. Aktifitas menulis begitu padat di tempat
kursusan plus hobi baruku membuat tinta balpenku lebih cepat habis. Pertama
memang benar-benar habis, kedua hilang dipinjam teman dan yang ketiga lupa
menyimpan. Padahal nomor kontak handphone sudah aku pasang di ujung balpen,
tetap saja belum ada yang menghubungi.
Semenjak lulus dari SMA sebulan
lalu aku begitu tertarik dengan dunia kepenulisan. Awalnya hanya iseng. Setelah
dua buah karya TTS ku dimuat di majalah lokal, dunia kepenulisan mulai tekun
aku geluti.
Aku mulai belajar menulis bebas,
belajar menulis aktifitas keseharianku, keluh kesah hidupku dan curahan hatiku.
Niat hati ingin menulis cerpen, tapi apalah daya. Aku bingung untuk memulainya.
Setidaknya buku yang berisi 38
lembar ini bisa penuh dalam waktu sebulan.
Kutarik nafasku dalam-dalam,
kulihat halaman buku yang sedang aku pegang.
Hari ke-5 Bulan Agustus.
Di minggu kedua prinsipku belum
berubah, hanya sebuah kebiasaan baru mulai menemaniku. Kebiasaan keluar malam,
hanya sekedar mengisi perut dengan makanan dan minuman.
Kalau bukan karena ajakan Jaka
yang baru aku kenal seminggu lalu, tentu aku masih berkutat dengan tarian pena
PILOT di lembar kosong buku Sidu.
“Bang Likin, ntar ikut mamingan
yuk bareng teman-teman sekelas,” sebuah SMS masuk, dari Cici. Teman sekelas.
“Hmm.. di mana? Kapan?” balasku.
“Nanti setelah Isya di Queen
Star,” lanjutnya.
“Jam berapa Ci,” aku bertanya.
“Kurang tau pasti, nanti Cici
kabari lagi, daa abang,” dia membalas sambil memberi emote smile.
Dara cantik asal kota Jember
bernama lengkap Fitria Cindy Rachma ini memang sedikit menguras konsentrasi
belajarku. Entah kenapa dia dipanggil Cici, seperti tak ada korelasi dengan
namanya yang panjang. Umurnya baru 18 tahun. Periang, lincah dan pintar,
demikian penilaianku tentangnya. Hampir tiga minggu aku belajar bersamanya. Tak
ada yang lebih menarik dari dirinya bagiku, melebihi sikapnya yang begitu
perhatian.
Hidup di jaman BBM, whatsapp,
line dan sejenisnya membuat diriku merasa terasing dengan informasi terkini
dalam grup media sosial. Maklum, uang kiriman orangtua hanya cukup buat bayar
kosan, kursus dan kebutuhan pokok. Dan Cici menjadi sosok yang peduli bertukar
sms denganku selain ketua kelas dan bendahara yang rajin menagih biaya iuran
kelas.
“Jam setengah delapan kita
kumpul,” kembali Cici mengirim sms padaku.
“Oke Cici,” jawabku.
Satu, dua, tiga, empat, ...
sebelas dua belas orang dari tiga puluh penghuni kelas yang berkumpul. Seperti
sebuah kewajiban kumpul bareng teman-teman sekelas. Sharing ilmu, kebiasaan
sehari-hari, hobi, tugas dan banyak lagi.
Game “Berani atau Jujur” menjadi
penutup mamingan ini. Seru.
“Ci, kamu bikin abang baper aja,”
ujarku di perjalanan pulang.
“Hehehe, gak papa kan bang,” kata
Cici dengan senyum manisnya.
“Tapi temen-temen jadi nyorakin
kita Ci,” protesku.
“Emang kenapa bang? Takut jadi
gosip di kelas ya, atau jangan-jangan...” Cici diam tidak melanjutkan.
“Jangan-jangan kenapa?” aku penasaran
“... abang udah punya pacar. Jadi
takut kena gosip,” ujar Cici sedikit cemberut.
“Ah kamu itu, ada-ada aja. Mana ada
tampang kayak abang gini pacaran,” aku berujar sambil mendekatkan mukaku.
“Tadi waktu kena hukuman, Cici
milih jujur dan lelaki yang paling Cici suka adalah abang karena abang itu
dewasa orangnya, baik hati dan penegrtian.”
“Deg,” Sebuah desiran halus mengalir halus. Gadis yang
aku kagumi menyukai diriku. Malam ini terasa indah bagiku. di malam mingguku
yang ketiga.
“Ciee ciee,, yang mau mamingan,”
Jaka yang datang melihatku menyisir rambut berkomentar.
“Ah nggak, Cuma kumpul saja
bareng temen,” kilahku.
“Temen apa temen,” guraunya, “tumben
pakai wewangian.”
“Biasa, anak muda, daripada bau
apek.”
“Abang bisa aja, pasti sama itu
ya,” pancing Jaka.
“Itu siapa Jaka?” Aku mencoba
mencari tahu.
“Cici kan, hayo ngaku.”
“Ah kamu itu, gosip doang
percaya,” kataku seraya bersiap pergi.
Kulihat kembali handphone nokia
milikku, “di Happy Inn ya. Awas jangan telat. Cici.”
Aku tersenyum. Secarik kertas berwarna pink yang aku tulis di
pematang sawah tadi pagi bersama Jaka tak lupa aku masukkan ke dalam saku. Bismillah.
Sms dari Cici meumbuhkan semangat
tersendiri. Keinginanku untuk segera bertemu gadis yang aku kagumi membuat
langkah kakiku terasa ringan untuk berjalan. Hatiku tak karuan.
“Ini lho bang Likin, abangku di
tempat kursus,” Cici memperkenalkan diriku dengan temannya.
“Solikin,” aku memperkenalkan
diri.
“Nama panjang abang siapa?” gadis
itu bertanya.
“Solikiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiin,”
gurauku yang disambut tawa keduanya.
Aku baru tahu jika gadis
berkerudung biru itu dari kampung halaman yang sama dengan Cici, Jember. Dulunya
satu kelas. Lalu mengambil kursus di tempat yang berbeda. Namanya Raisha.
“Jadi Raisha calon pramugari,
pantesan tinggi, cantik lagi,” aku sedikit menggombal.
“Ah, abang mah gombal mulu,” Cici
sewot.
Makin malam bukannya makin sepi,
banyak pemuda pemudi meramaikan resto ini. Dari yang belajar bersama, canda,
sampai yang teriak-teriak mengadakan permainan kelompok.
“Jadi begini bang, Cici mau
curhat. Cici lagi ada masalah,” Cici terlihat serius, “abang dengerin
dong,”
“Iya iya,”
Ini anak bawel banget. Aku membatin.
“Temen Cici dua minggu lalu
datang ke sini, mau kursus juga.”
“Tepatnya pacar,” Raisha nyerocos.
“Terus?” aku tidak sabar.
“Dia ngajak balikan sama Cici. Dia
sudah minta maaf perihal kesalahannya dulu.”
“Memang kesalahannya apa Cici?” aku
bertanya denggan mimik muka serius. Dalam hati aku hanya bisa menyembunyikan
perasaan yang tidak bisa aku ungkap.
Cici melanjutkan kisahnya,
tentang pacarnya dulu di SMA. Adit, begitulah yang aku tahu. Aku hanya bisa
mendengar dan mendengar, sesekali memberi solusi. Bagiku sebenarnya pacaran itu,
ibarat jamur di musim hujan. Dia akan merambat, membesar dan makin banyak. Namun
jika musim kemarau datang, dengan sendirinya akan mati.
Tidak, tidak. Aku tidak mau
pacaran. Aku mau belajar.
Tapi kamu harus punya pacar Kin. Buat
menambah semangat belajar.
Justru pacaran yang bikin
semangat belajar menurun.
Buktinya...
Beragam perasaan muncul dalam
hatiku, saling menikam, saling mematikan.
Lingkungan yang baik itu seperti
kiita bergaul dengan penjual minyak wangi. Harum, menular ke tubuh kita.
sebaliknya, jika lingkungan buruk. Ibarat bergaul dengan pandai besi, bau bakar
akan menempel di tubuh kita. Begitulah yang aku ingat pesan dari guruku.
“Makasih ya bang udah mau
mendengar curhatan Cici,” ujar Cici senang, “katanya mau ngasih surprise Cici. Mana
donk!”
Aku sedikit tersenyum, kecut, “Hehe,
nggak Cici. Lupa abang,” aku beralasan.
“Bohong abang mah,” Cici
cemberut.
“Ya Ci, serius, ketinggalan,” aku
menambah alasan.
Tanganku merogoh saku celana,
memastikan kertas pink yang aku bawa. Tidak jatuh, tidak juga pindah tangan. Bait-bait
puisi cinta yang susah payah aku susun untuk pujaanku seakan menjadi seonggok
kertas tisu bekas, tak berarti. Kecewa.
“Yaudah, nanti-nati jangan lupa
ya bang, ditunggu,” ujar Cici dengan gaya senyumnya yang khas.
“Udah malem, pulang yuk.” Ajakku sambil
bersiap-siap.
Dengan langkap gontai aku
mengiringi Cici dan Raisha menuju tempat kosan. Tak ada ungkapan cinta, tak ada
puisi mesra. Semua lenyap.
Kertosono,
09 Februari 2016
Tiada ulasan:
Catat Ulasan