Rabu, 10 Februari 2016

Aku Kau dan Malam Minggu

Aku Kau dan Malam Minggu
Jika cinta memanggilmu maka dekatilah dia
Walau jalannya terjal berliku
Jika cinta memelukmu maka dekaplah dia
Walau pedang disela-sela sayapnya melukaimu (Kahlil Gibran)

Semilir angin mendesir segar terasa, dedaunan pohon melambai indah berirama, burung-burung terlihat berloncatan asyik bercengkrama. Seakan ingin menemaniku yang sedang duduk mengguratkan pena.
“Bang, sudah beres puisinya?” tanya Jaka yang membaca buku tak jauh dariku.
“Belum Ka, sebentar lagi,” kataku, “kehabisan ide.”
“Kata abang, pematang sawah adalah sumber inspirasi yang sempurna untuk merangkai kata.”
“Ya Ka, tinggal 10 persen lagi,” jawabku sedikit menerka.
Aku menengadah ke atas, kulihat langit di ufuk barat semakin berwarna jingga, sementara gumpalan awan gelap hampir menelan bulat-bulat matahari yang tak berdaya, maghrib.
“Ayo kita pulang,” ajakku pada Jaka.
 Tak butuh waktu lama untuk mencapai kosan, rumah sementara kami tinggal. Kosan yang letaknya cukup strategis menurutku. Mudah diakses, di pinggir jalan, tak jauh dari masjid dan yang pasti mewah, mepet sawah.
Akankah malam mingguku ini kembali indah?
Secarik kertas telah aku siapkan untuk malam sepesial ini.


Aku Kau dan Malam Minggu - achmad marzuqi
“Aduuuh, malam minggu begini masih saja di kosan,” suatu malam ibu kosan memergokiku menyendiri di kamar.
“Memang kenapa kalau di kamar Madam?” tanyaku.
“Kamu sudah belajar full selama seminggu kan Kin, ada baiknya  refreshing di luar layaknya anak-ana muda zaman sekarang gitu lho,” jelas Madam sedikit bercanda.
Saat itu aku yang baru seminggu di tempat kursus hanya bisa tersenyum. Bukan karena tidak tertarik, ataupun tidak suka dengan dunia malam. Namun karena tujuanku hanya belajar dan belajar, tidak sedikitpun terlintas untuk menghibur diri.
“Aku harus memegang teguh prinsipku. Ingat tujuanmu!”  aku berusaha menasehati diri.
Kulanjutkan aktifitas di kamarku yang sedikit tertunda, menulis. Selain handphone nokia jadul, balpen PILOT dan buku tulis Sinar Dunia berisi 38 lembar menjadi barang yang amat berharga di sini.
Baru tiga minggu aku sudah menghabiskan tiga buah balpen PILOT. Aktifitas menulis begitu padat di tempat kursusan plus hobi baruku membuat tinta balpenku lebih cepat habis. Pertama memang benar-benar habis, kedua hilang dipinjam teman dan yang ketiga lupa menyimpan. Padahal nomor kontak handphone sudah aku pasang di ujung balpen, tetap saja belum ada yang menghubungi.
Semenjak lulus dari SMA sebulan lalu aku begitu tertarik dengan dunia kepenulisan. Awalnya hanya iseng. Setelah dua buah karya TTS ku dimuat di majalah lokal, dunia kepenulisan mulai tekun aku geluti.
Aku mulai belajar menulis bebas, belajar menulis aktifitas keseharianku, keluh kesah hidupku dan curahan hatiku. Niat hati ingin menulis cerpen, tapi apalah daya. Aku bingung untuk memulainya.
Setidaknya buku yang berisi 38 lembar ini bisa penuh dalam waktu sebulan.
Kutarik nafasku dalam-dalam, kulihat halaman buku yang sedang aku pegang.
Hari ke-5 Bulan Agustus.
Di minggu kedua prinsipku belum berubah, hanya sebuah kebiasaan baru mulai menemaniku. Kebiasaan keluar malam, hanya sekedar mengisi perut dengan makanan dan minuman.
Kalau bukan karena ajakan Jaka yang baru aku kenal seminggu lalu, tentu aku masih berkutat dengan tarian pena PILOT di lembar kosong buku Sidu.
“Bang Likin, ntar ikut mamingan yuk bareng teman-teman sekelas,” sebuah SMS masuk, dari Cici. Teman sekelas.
“Hmm.. di mana? Kapan?” balasku.
“Nanti setelah Isya di Queen Star,” lanjutnya.
“Jam berapa Ci,” aku bertanya.
“Kurang tau pasti, nanti Cici kabari lagi, daa abang,” dia membalas sambil memberi emote smile.
Dara cantik asal kota Jember bernama lengkap Fitria Cindy Rachma ini memang sedikit menguras konsentrasi belajarku. Entah kenapa dia dipanggil Cici, seperti tak ada korelasi dengan namanya yang panjang. Umurnya baru 18 tahun. Periang, lincah dan pintar, demikian penilaianku tentangnya. Hampir tiga minggu aku belajar bersamanya. Tak ada yang lebih menarik dari dirinya bagiku, melebihi sikapnya yang begitu perhatian.
Hidup di jaman BBM, whatsapp, line dan sejenisnya membuat diriku merasa terasing dengan informasi terkini dalam grup media sosial. Maklum, uang kiriman orangtua hanya cukup buat bayar kosan, kursus dan kebutuhan pokok. Dan Cici menjadi sosok yang peduli bertukar sms denganku selain ketua kelas dan bendahara yang rajin menagih biaya iuran kelas.
“Jam setengah delapan kita kumpul,” kembali Cici mengirim sms padaku.
“Oke Cici,” jawabku.
Satu, dua, tiga, empat, ... sebelas dua belas orang dari tiga puluh penghuni kelas yang berkumpul. Seperti sebuah kewajiban kumpul bareng teman-teman sekelas. Sharing ilmu, kebiasaan sehari-hari, hobi, tugas dan banyak lagi.
Game “Berani atau Jujur” menjadi penutup mamingan ini. Seru.
“Ci, kamu bikin abang baper aja,” ujarku di perjalanan pulang.
“Hehehe, gak papa kan bang,” kata Cici dengan senyum manisnya.
“Tapi temen-temen jadi nyorakin kita Ci,” protesku.
“Emang kenapa bang? Takut jadi gosip di kelas ya, atau jangan-jangan...” Cici diam tidak melanjutkan.
“Jangan-jangan kenapa?” aku penasaran
“... abang udah punya pacar. Jadi takut kena gosip,” ujar Cici sedikit cemberut.
“Ah kamu itu, ada-ada aja. Mana ada tampang kayak abang gini pacaran,” aku berujar sambil mendekatkan mukaku.
“Tadi waktu kena hukuman, Cici milih jujur dan lelaki yang paling Cici suka adalah abang karena abang itu dewasa orangnya, baik hati dan penegrtian.”
“Deg,” Sebuah desiran halus mengalir halus. Gadis yang aku kagumi menyukai diriku. Malam ini terasa indah bagiku. di malam mingguku yang ketiga.

“Ciee ciee,, yang mau mamingan,” Jaka yang datang melihatku menyisir rambut berkomentar.
“Ah nggak, Cuma kumpul saja bareng temen,” kilahku.
“Temen apa temen,” guraunya, “tumben pakai wewangian.”
“Biasa, anak muda, daripada bau apek.”
“Abang bisa aja, pasti sama itu ya,” pancing Jaka.
“Itu siapa Jaka?” Aku mencoba mencari tahu.
“Cici kan, hayo ngaku.
“Ah kamu itu, gosip doang percaya,” kataku seraya bersiap pergi.  
Kulihat kembali handphone nokia milikku, “di Happy Inn ya. Awas jangan telat. Cici.”
Aku tersenyum.  Secarik kertas berwarna pink yang aku tulis di pematang sawah tadi pagi bersama Jaka tak lupa aku masukkan ke dalam saku. Bismillah.
Sms dari Cici meumbuhkan semangat tersendiri. Keinginanku untuk segera bertemu gadis yang aku kagumi membuat langkah kakiku terasa ringan untuk berjalan. Hatiku tak karuan.
“Ini lho bang Likin, abangku di tempat kursus,” Cici memperkenalkan diriku dengan temannya.
“Solikin,” aku memperkenalkan diri.
“Nama panjang abang siapa?” gadis itu bertanya.
“Solikiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiin,” gurauku yang disambut tawa keduanya.
Aku baru tahu jika gadis berkerudung biru itu dari kampung halaman yang sama dengan Cici, Jember. Dulunya satu kelas. Lalu mengambil kursus di tempat yang berbeda. Namanya Raisha.
“Jadi Raisha calon pramugari, pantesan tinggi, cantik lagi,” aku sedikit menggombal.
“Ah, abang mah gombal mulu,” Cici sewot.
Makin malam bukannya makin sepi, banyak pemuda pemudi meramaikan resto ini. Dari yang belajar bersama, canda, sampai yang teriak-teriak mengadakan permainan kelompok.
“Jadi begini bang, Cici mau curhat. Cici lagi ada masalah,” Cici terlihat serius, “abang dengerin dong,”
“Iya iya,”
Ini anak bawel banget. Aku membatin.
“Temen Cici dua minggu lalu datang ke sini, mau kursus juga.”
“Tepatnya pacar,” Raisha nyerocos.
“Terus?” aku tidak sabar.
“Dia ngajak balikan sama Cici. Dia sudah minta maaf perihal kesalahannya dulu.”
“Memang kesalahannya apa Cici?” aku bertanya denggan mimik muka serius. Dalam hati aku hanya bisa menyembunyikan perasaan yang tidak bisa aku ungkap.
Cici melanjutkan kisahnya, tentang pacarnya dulu di SMA. Adit, begitulah yang aku tahu. Aku hanya bisa mendengar dan mendengar, sesekali memberi solusi. Bagiku sebenarnya pacaran itu, ibarat jamur di musim hujan. Dia akan merambat, membesar dan makin banyak. Namun jika musim kemarau datang, dengan sendirinya akan mati.
Tidak, tidak. Aku tidak mau pacaran. Aku mau belajar.
Tapi kamu harus punya pacar Kin. Buat menambah semangat belajar.
Justru pacaran yang bikin semangat belajar menurun.
Buktinya...
Beragam perasaan muncul dalam hatiku, saling menikam, saling mematikan.
Lingkungan yang baik itu seperti kiita bergaul dengan penjual minyak wangi. Harum, menular ke tubuh kita. sebaliknya, jika lingkungan buruk. Ibarat bergaul dengan pandai besi, bau bakar akan menempel di tubuh kita. Begitulah yang aku ingat pesan dari guruku.
“Makasih ya bang udah mau mendengar curhatan Cici,” ujar Cici senang, “katanya mau ngasih surprise Cici. Mana donk!”
Aku sedikit tersenyum, kecut, “Hehe, nggak Cici. Lupa abang,” aku beralasan.
“Bohong abang mah,” Cici cemberut.
“Ya Ci, serius, ketinggalan,” aku menambah alasan.
Tanganku merogoh saku celana, memastikan kertas pink yang aku bawa. Tidak jatuh, tidak juga pindah tangan. Bait-bait puisi cinta yang susah payah aku susun untuk pujaanku seakan menjadi seonggok kertas tisu bekas, tak berarti. Kecewa.
“Yaudah, nanti-nati jangan lupa ya bang, ditunggu,” ujar Cici dengan gaya senyumnya yang khas.
“Udah malem, pulang yuk.” Ajakku sambil bersiap-siap.
Dengan langkap gontai aku mengiringi Cici dan Raisha menuju tempat kosan. Tak ada ungkapan cinta, tak ada puisi mesra. Semua lenyap.

Kertosono, 09 Februari 2016


Tiada ulasan:

Catat Ulasan