Sabtu, 6 Februari 2016

BBM

BBM
Oleh: Achmad Marzuqi
Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (Qs. Ar Ra’du: 11)

“Lho, kok masih di sini. Nggak ikut ngelayat Han?” Suara ibunya membuyarkan lamunan Fathan.
“Memangnya ada yang meninggal bu?” Fathan balik bertanya.
“Ini ibu baru dari sana.” Ibunya terlihat menenteng tas plastik, bungkus beras.
“Siapa yang meninggal?” Fathan penasaran
“Ibu Tintin,” jawab ibunya.
pribadi introvert yang harus dihindari-marzuqi
“Ibu Tintin?” Fathan mengeryitkan dahinya. “Bukannya baru melahirkan seminggu lalu?”

“Itu mah ibu Tintin warung nasi, kalau yang ini Ibu Tintin penjahit,” terang sang ibu
“Cepetan ke sana, ntar keburu dikubur,” ibu melanjutkan
Bukannya bergegas berangkat, Fathan malah  santai di kamarnya. Mainan HP. Ibunya pergi sambil geleng-geleng kepala. Merasa tidak enak dengan ibunya Fathan keluar kamar menuju depan rumah. Tampak beberapa ibu tetangga lewat sambil membawa tas plastik, tas yang biasa dipakai untuk membawa beras. Pulang dari melayat. Fathan masuk lagi menemui ibunya.
“Pak Tur sudah berangkat bu?”
“Sudah dari tadi, jalan kaki malahan,” jawab ibunya.
Aduh, mau berangkat sendiri malu. Tidak berangkat dimarahain ibu. Oh iya, ada Mas Fauzan.
Fathan bergegas mencari kakaknya, “Mas, sudah melayat belum?”
“Mas nggak melayat Han.” Dari setelan bajunya Fathan tahu jika kakaknya mau berangkat kerja. Bingung, tidak ada teman.
“Berangkat saja sendiri Han.” Saran kakaknya.
Fathan hanya bisa bolak balik di dalam rumah sambil sesekali melihat depan rumah.
“Belum berangkat juga?” Giliran Mbak Izah bertanya.
Nggak ada motor mbak,” Fathan memberi alasan.
“Yaudah, pakai saja motorku. Tapi tolong anter anak-anak pergi ke sekolah,” Mbak Izah memberi solusi seraya menyerahkan kunci motor ke tangan Fathan.
“Ntar, langsung saja ke rumah keluarga Ibu Tintin,” Mbak Izah pergi meningggalkannya. Nggak masalah Mbak.
Sengaja Fathan mengambil jalan di depan rumah almarhumah, untuk memastikan orang-orang yang melayat. Kesehariannya di dunia perantauan membuat Fathan sedikit mengisolasi diri dari pergaulan. Semenjak lulus SD hingga usia kuliahnya yang memasuki tahap sekripsi Fathan memang sudah tidak di rumah. Merantau di kota metropolitan Surabaya.
Racun kehidupan kota telah mengubah dirinya yang dahulu akrab dengan segala kegiatan di kampung halaman menjadi pribadi yang introvert, menyendiri. Dunia maya menjadi lebih asyik, dibanding kehidupan nyata. HP dan PC menjadi teman yang amat menarik.
“Kok sudah pulang Han?” Mbak Izah bertanya melihat Fathan turun dari motor.
“Hmmm, peciku tertinggal di kamar,” ujarnya santai.
Bukan Fathan kalau tidak punya banyak alasan. Dia tahu betul kakak perempuannya tidak menyukai kebiasaannya ini.
“Kamu itu memang benar-benar BBM ya Han.” Suatu hari Mbak Izah berujar. Dia tidak mengerti apa maksud perkataan kakaknya itu.
“Bimbang, Buruk Sangka, Mudah Ngeles lagi, lengkap deh,” terang kakaknya.
“Sudah BBM, tampangnya Solar lagi.”
Fathan makin penasaran, “apa artinya Solar Mbak?”
“Sok keliatan rajin.”
“Emang rajin mbak. Tak terbantahkan. Hehehe,” Fathan berkata, bangga.
“Ya rajin, cuma rajin main HP.”
“Huu, dasar!” Fathan melempar bantal ke kakaknya. Ah, emang gue pikirin. 
***
“Han,” ibunya berbisik. Seperti ada yang ingin beliau sampaikan, “apa benar adikmu pacaran?”
Fathan terdiam untuk beberapa saat, dilepasnya songkok yang menutupi rambut kepalanya, “iya bu. Dia pernah cerita padaku.”
“Pacaran dengan siapa, orang mana?” Ibunya  bertanya terlihat makin penasaran.
“Kurang tahu pasti, namanya siapa. Masih satu kuliahan dengaan adik. Adik bilang masih daerah Jombang.”
 “Fathan kenal dengan dia?” Ibunya sedikit menyelidik.
Nggak bu. Kata adik, pacarnya pengen silaturahim ke sini sama orangtuanya.”
Fathan melirik ibunya, pandangannya terlihat menerawang, jauh. “Kuliah saja baru setahun kok sudah pacaran. Kuliah kan butuh biaya yang tak murah.”
“Ibu tahu dari mana?” Giliran Fathan penasaran.
“Denger-denger saja, dari kakak-kakakmu.” Ibunya mulai menjelaskan bagaimana perubahan yang dialami Dek Aliya akhir pekan lalu, ketika liburan. Perubahan tentang sikapnya, tentang kebiasaannya. Hanya gegara HP baru yang ia miliki. Lebih sering main HP daripada membantu ibunya.
“Glek,” itu kan aku banget. Fathan menelan ludah.
“Tadi pagi bagaimana Han, di rumah almarhumah?” Ibunya mengalihkan topik pembicaraan.
“Kacau bu, kacau banget.” Fathan menjawab penuh semangat. Ibunya mengernyitkan dahi. “Awalnya aku bingung, di depan rumah banyak orang. Ketika masuk, hanya ada seorang bapak dan beberapa ibu yang sedang berdzikir dan berdoa di hadapan mayat yang sudah siap diberangkatkan.”
“Lalu?”
“Refleks aku berdiri melaksanakan shalat mayit sendirian.”
“Kenapa nggak bertanya dulu Han?” Tanya ibu menahan tawa.
“Aku baru tahu jika mau shalat tunggu yang lain datang. Berjamaah. Makin banyak jamaah makin besar pahalanya. Tidak hanya untuk kita, tetapi juga mayit yang kita shalati.” Fathan mencoba meniru nasehat bapak kepadanya di ruang tadi. Jadilah dia melaksanakan shalat dua kali.
 Coba kalau tadi pagi ada yang diajak barengan, nggak malu seperti ini.
***
Malam semakin larut, hujan rintik-rintik disertai angin kencang terdengar menderu, dingin. Tidak ada yang  lebih bahagia melebihi katak-katak yang bersorak sorai di kali belakang rumah, berisik. Sementara nyamuk terus-terusan membising mengintai mencari mangsa.
Malam yang seharusnya bersahabat untuk Fathan di tempat peraduannya. Namun ternyata tidak. Fathan hanya bisa membolak-balikkan badannya di kasur. Pikirannya menerawang, kejadian memalukan tadi pagi, ucapan ibunya tentang Dek Aliya, ucapan mbak Izah terngiang.
Sampai kapan kamu begini Han. Terus-terusan mengurung diri dan jarang bersosialisasi. Ibu tidak akan selamanya ada. Kapan belajar mandiri.
Sengaja Fathan menon aktifkan handphone demi mencari sebuah ketenangan. Biasanya dia lebih sering chattingan dengan pacarnya hingga larut malam, sampai rela menghabiskan malam dengan menelpon bercerita, curhat tentang keindahan cinta, tentang khayalan, tentang gombalan anak-anak muda, tentang semuanya.
Aku harus mengubah sikapku
Aku harus mengubah kebiasaanku
Aku harus mengubah semuanya.
Bukan lagi BBM seperti yang kakakku bilang
Tapi Belajar, Bersosialisasi dan Mandiri
Aku harus berhijrah
Tapi darimana aku harus memulai?

Nganjuk, 06 Februari 2016

Tiada ulasan:

Catat Ulasan