BBM
Oleh: Achmad Marzuqi
Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan
sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.
(Qs. Ar Ra’du: 11)
“Lho, kok masih di sini. Nggak ikut ngelayat
Han?” Suara ibunya membuyarkan lamunan Fathan.
“Memangnya ada yang meninggal bu?” Fathan balik
bertanya.
“Ini ibu baru dari sana.” Ibunya terlihat
menenteng tas plastik, bungkus beras.
“Siapa yang meninggal?” Fathan penasaran
“Ibu Tintin,” jawab ibunya.
pribadi introvert yang harus dihindari-marzuqi |
“Ibu Tintin?” Fathan mengeryitkan dahinya.
“Bukannya baru melahirkan seminggu lalu?”
“Itu mah ibu Tintin warung nasi, kalau
yang ini Ibu Tintin penjahit,” terang sang ibu
“Cepetan ke sana, ntar keburu dikubur,”
ibu melanjutkan
Bukannya bergegas berangkat, Fathan malah santai di kamarnya. Mainan HP. Ibunya pergi
sambil geleng-geleng kepala. Merasa tidak enak dengan ibunya Fathan keluar
kamar menuju depan rumah. Tampak beberapa ibu tetangga lewat sambil membawa tas
plastik, tas yang biasa dipakai untuk membawa beras. Pulang dari melayat.
Fathan masuk lagi menemui ibunya.
“Pak Tur sudah berangkat bu?”
“Sudah dari tadi, jalan kaki malahan,” jawab
ibunya.
Aduh, mau berangkat sendiri malu. Tidak
berangkat dimarahain ibu. Oh iya, ada Mas Fauzan.
Fathan bergegas mencari kakaknya, “Mas, sudah
melayat belum?”
“Mas nggak melayat Han.” Dari setelan
bajunya Fathan tahu jika kakaknya mau berangkat kerja. Bingung, tidak ada teman.
“Berangkat saja sendiri Han.” Saran kakaknya.
Fathan hanya bisa bolak balik di dalam rumah
sambil sesekali melihat depan rumah.
“Belum berangkat juga?” Giliran Mbak Izah
bertanya.
“Nggak ada motor mbak,” Fathan memberi
alasan.
“Yaudah, pakai saja motorku. Tapi tolong anter
anak-anak pergi ke sekolah,” Mbak Izah memberi solusi seraya menyerahkan kunci
motor ke tangan Fathan.
“Ntar, langsung saja ke rumah keluarga Ibu
Tintin,” Mbak Izah pergi meningggalkannya. Nggak masalah Mbak.
Sengaja Fathan mengambil jalan di depan rumah
almarhumah, untuk memastikan orang-orang yang melayat. Kesehariannya di dunia
perantauan membuat Fathan sedikit mengisolasi diri dari pergaulan. Semenjak
lulus SD hingga usia kuliahnya yang memasuki tahap sekripsi Fathan memang sudah
tidak di rumah. Merantau di kota metropolitan Surabaya.
Racun kehidupan kota telah mengubah dirinya
yang dahulu akrab dengan segala kegiatan di kampung halaman menjadi pribadi
yang introvert, menyendiri. Dunia maya menjadi lebih asyik, dibanding
kehidupan nyata. HP dan PC menjadi teman yang amat menarik.
“Kok sudah pulang Han?” Mbak Izah bertanya
melihat Fathan turun dari motor.
“Hmmm, peciku tertinggal di kamar,” ujarnya
santai.
Bukan Fathan kalau tidak punya banyak alasan.
Dia tahu betul kakak perempuannya tidak menyukai kebiasaannya ini.
“Kamu itu memang benar-benar BBM ya Han.” Suatu
hari Mbak Izah berujar. Dia tidak mengerti apa maksud perkataan kakaknya itu.
“Bimbang, Buruk Sangka, Mudah Ngeles lagi,
lengkap deh,” terang kakaknya.
“Sudah BBM, tampangnya Solar lagi.”
Fathan makin penasaran, “apa artinya Solar
Mbak?”
“Sok keliatan rajin.”
“Emang rajin mbak. Tak terbantahkan. Hehehe,”
Fathan berkata, bangga.
“Ya rajin, cuma rajin main HP.”
“Huu, dasar!” Fathan melempar bantal ke
kakaknya. Ah, emang gue pikirin.
***
“Han,” ibunya berbisik. Seperti ada yang ingin
beliau sampaikan, “apa benar adikmu pacaran?”
Fathan terdiam untuk beberapa saat, dilepasnya
songkok yang menutupi rambut kepalanya, “iya bu. Dia pernah cerita padaku.”
“Pacaran dengan siapa, orang mana?” Ibunya bertanya terlihat makin penasaran.
“Kurang tahu pasti, namanya siapa. Masih satu
kuliahan dengaan adik. Adik bilang masih daerah Jombang.”
“Fathan
kenal dengan dia?” Ibunya sedikit menyelidik.
“Nggak bu. Kata adik, pacarnya pengen
silaturahim ke sini sama orangtuanya.”
Fathan melirik ibunya, pandangannya terlihat
menerawang, jauh. “Kuliah saja baru setahun kok sudah pacaran. Kuliah kan butuh
biaya yang tak murah.”
“Ibu tahu dari mana?” Giliran Fathan penasaran.
“Denger-denger saja, dari kakak-kakakmu.”
Ibunya mulai menjelaskan bagaimana perubahan yang dialami Dek Aliya akhir pekan
lalu, ketika liburan. Perubahan tentang sikapnya, tentang kebiasaannya. Hanya
gegara HP baru yang ia miliki. Lebih sering main HP daripada membantu ibunya.
“Glek,” itu kan aku banget. Fathan
menelan ludah.
“Tadi pagi bagaimana Han, di rumah almarhumah?”
Ibunya mengalihkan topik pembicaraan.
“Kacau bu, kacau banget.” Fathan menjawab penuh
semangat. Ibunya mengernyitkan dahi. “Awalnya aku bingung, di depan rumah
banyak orang. Ketika masuk, hanya ada seorang bapak dan beberapa ibu yang
sedang berdzikir dan berdoa di hadapan mayat yang sudah siap diberangkatkan.”
“Lalu?”
“Refleks aku berdiri melaksanakan shalat mayit
sendirian.”
“Kenapa nggak bertanya dulu Han?” Tanya
ibu menahan tawa.
“Aku baru tahu jika mau shalat tunggu yang lain
datang. Berjamaah. Makin banyak jamaah makin besar pahalanya. Tidak hanya untuk
kita, tetapi juga mayit yang kita shalati.” Fathan mencoba meniru nasehat bapak
kepadanya di ruang tadi. Jadilah dia melaksanakan shalat dua kali.
Coba
kalau tadi pagi ada yang diajak barengan, nggak malu seperti ini.
***
Malam semakin larut, hujan rintik-rintik
disertai angin kencang terdengar menderu, dingin. Tidak ada yang lebih bahagia melebihi katak-katak yang
bersorak sorai di kali belakang rumah, berisik. Sementara nyamuk terus-terusan
membising mengintai mencari mangsa.
Malam yang seharusnya bersahabat untuk Fathan
di tempat peraduannya. Namun ternyata tidak. Fathan hanya bisa
membolak-balikkan badannya di kasur. Pikirannya menerawang, kejadian memalukan
tadi pagi, ucapan ibunya tentang Dek Aliya, ucapan mbak Izah terngiang.
Sampai kapan kamu begini Han. Terus-terusan
mengurung diri dan jarang bersosialisasi. Ibu tidak akan selamanya ada. Kapan
belajar mandiri.
Sengaja Fathan menon aktifkan handphone demi
mencari sebuah ketenangan. Biasanya dia lebih sering chattingan dengan pacarnya
hingga larut malam, sampai rela menghabiskan malam dengan menelpon bercerita,
curhat tentang keindahan cinta, tentang khayalan, tentang gombalan anak-anak
muda, tentang semuanya.
Aku harus mengubah sikapku
Aku harus mengubah kebiasaanku
Aku harus mengubah semuanya.
Bukan lagi BBM seperti yang kakakku bilang
Tapi Belajar, Bersosialisasi dan Mandiri
Aku harus berhijrah
Tapi darimana aku harus memulai?
Nganjuk,
06 Februari 2016
Tiada ulasan:
Catat Ulasan