KADO UMROH UNTUK MAMA
Penulis
: Achmad Marzuqi
Teng teng teng teng
Sebuah nada sms membuyarkan konsentrasi belajar
seisi ruang kelas.
“Who is bringing mobile phone?” Mr.
Karim sontak melotot menebar pandangan.
“Keep silent please or I sell your mobile phone!”
Lanjutnya mengancam.
Seisi kelas sedikit gaduh, saling menoleh
mencari sumber suara sebelum akhirnya menemukan Fathan, pemilik sumber suara
yang bergerak mengambil HP dari dalam tas.
kado umroh untuk mama |
Aku tidak mau mengambil resiko, daripada
dirampas oleh teacher.
***
“Mah, doakan Fathan bisa berangkat umroh bareng
mama.”
“Umroh
sekarang nggak murah Han, memangnya sudah punya bekal?” Tanya mama
penasaran.
“Dengan ini mah,” kata Fathan sambil menunjuk
dada, “keyakinan.”
“Kamu ini Han baru dua bulan keluar dari pesantren,
sudah berkhayal telalu tinggi,” tiba-tiba Mas Fauzan datang ikut menimpali.
“Hehe, mas Fauzan belum tahu ya,” jawab Fathan
santai seraya ngeloyor pergi.
Hanya ada Fathan, Mas Fauzan dan mama di
ruangan itu, sebuah ruangan kecil di tengah-tengah rumah. Ruang keluarga untuk
saling berecengkrama dan makan bersama, sebuah televisi berukuran 14 inchi
sedang menyala menemani makan malam mereka. “Ini lho mah, mas Fauzan,” Fathan
mengelurkan starter kid milik perusahaan terkenal. “Apaan ini Han?” Mama
mendekat, dibukanya lembar demi lembar halaman buku berukuran mini itu, full
colour.
“Stop,” Fathan sontak menunjuk sebuah gambar, Masjidil
Haram lengkap dengan Kakbah yang sedang dikelilingi oleh orang-orang yang
thowaf. Di halaman sebelahnya ada sekumpulan jamaah yang berfoto bersama sambil
membentangkan baliho besar dengan latar belakang goa Hiro.
“Ini teman-teman di kantor yang sukses,” kata
Fathan penuh percaya diri.
“Kamu ikutan MLM? Bisnis yang nggak jelas ini,”
Mas Fauzan menginterogasi.
“Ya mas, aku ikutan bisnis MLM.”
“Kamu sudah ditipu dengan bisnis seperti ini.
Mas dulu juga pernah, bukan keberutungan yang mas dapat tapi kebuntungan.” Mas
Fauzan menjelaskan. Perdebatan kecil terjadi, sebelum akhirnya mama melerai.
“Sudahlah Zan, biarkan adikmu berjalan sesuai pilihannya.”
Fathan sedikit ragu, perang batin sempat
berkecamuk di dalam hatinya. Jauh sebelum kakaknya mengingatkan. “Niat baik itu
ibarat kilatan petir di langit, silau, menerangi. Namun hanya sekejap dan
lenyap. Karenanya jika kamu mempunyai niat yang baik, segeralah untuk direalisasikan
kebaikanmu itu atau kamu akan lupa dan tidak akan lagi mengerjakannya.”
Kata-kata Pak Muslih, guru tilawah Fathan di pesantren menyalakan kobaran
semangatnya yang hampir padam. Memberi kado umroh untuk mama. Meski baru sebatas
niat. Niat baik saja sudah berpahala satu, apalagi sampai dilaksanakan.
***
Segera Fathan mengaktifkan HP nya, satu sms
belum ia baca.
Untung nggak sampai dirampas oleh teacher di
tempat kursusan.
“Yayasan
Adz Dzikra Jakarta membuka pendaftaran umroh gratis, berlaku bagi masyarakat
umum. Bagi yang berminat, silakan kirim SMS ke nomor ini...”
Huruf demi huruf ia rangkai menjadi sebuah kata
yang membentuk beberapa kalimat. Pesan terkirim, butuh waktu sekitar 60
detik, sebelum sebuah jawaban masuk, dia ikuti ikuti prosedur yang ada. Alhamdulillah,
“Anda terdaftar dalam program umroh gratis
bersama pesantren Az Zikra Ciputat. Segera chek in pada hari...”
Ingatannya melayang pada kejadian 3 tahun lalu,
demi sesorang yang amat dia cinta, Mama. Perjuangannya dimulai setahun sebelum
dia lulus pesantren. Fathan harus mencuri waktu demi berjualan koran di
terminal dan perempatan lampu merah. Fathan harus bangun lebih awal demi
belanja bumbu-bumbu masakan yang dia rangkai menjadi gorengan-gorengan seharga
lima ratusan sebelum dia titipkan di warung tetangga. Fathan harus mengirit
pengeluaran demi sebuah tabungan yang dia impikan.
Aku harus..
Mungkin Allah mempunyai kehendak lain, sehingga
aku belum bisa merealisasikan mimpiku saat itu, termasuk saat aku memutuskan
bergabung ke dalam bisnis MLM selepas lulus pesantren.
“Kita harus blusukan ke kampung-kampung
layaknya tabib handal sambil menawarkan obat dan jasa pengecekan kesehatan
gratis,” kata Arif sahabatnya waktu itu.
“Jokowi dong.” Fathan berseloroh.
“Kau lihat Bang Rashid yang punya motor ninja
itu, dulu dia juga sama seperti kita.” Arif berusaha meyakinkan.
Tak ada pilihan. “Han, bisnis ini butuh mental
yang kuat, tebal tahan banting dan tebal muka. Saran Mas Fauzan mendingan
kamu lanjut kuliah saja.”
Ah, masa lalu biarlah berlalu. Sekarang saatnya
banting setir.
“Assalamualaikum Mah,”
“Waalaikumsalam Fathan,” jawab mama dari
seberang telepon.
“Fathan dapat informasi ada program umroh
gratis bersyarat dari Yayasan milik Ust. Arifin Ilham.”
“Apa syaratnya Han?” Suara mama terdengar
penasaran.
“Lulus tes tahfizh 30 Juz mah.”
“Kebetulan sekali, ambil saja Han.” Fathan tahu
jika mama begitu girang mendengar kabar ini. Namun dia harus jujur jika hari
pengujian hafalan bersamaan dengan pengumuman di tempat dia kursus membuatnya
bimbang untuk melangkah.
“Apa
kamu mau mengorbankan jerih payah kursusmu Han selama 3 bulan? Demi mengejar
umroh yang belum tentu kamu dapatkan?” selidik mamah.
“Itulah, kenapa sih kesempatan itu datang
bersamaan Mah?” Fathan kesal.
“Kapan
ya mama bisa ke sini,” suara lirih mama setiap melihat siaran ibadah haji
selalu melecut semangat Fathan. Semangat untuk bisa memberangkatkan mama ke
tanah suci Mekah.
Ah, jangankan ke Mekah, ke luar kota sendiri
saja jarang.
Lupakanlah, lupakanlah Fathan. Sayangkan
kursus dari tiga bulan lalu gagal di
menit-menit akhir. Fokus pada terget di tempat kursus. Hmm.. Maafkan anakmu ini
mah!
***
Sebuah nada ringtone meraung-raung, Fathan
mengambil HP nya, nomor tak dikenal,
“Assalamualaikum, apa benar ini dengan Mas
Fathan,” suara seorang wanita, halus.
“Ya benar mbak, saya sendiri.” jawab Fathan penasaran.
“Kami dari panitia pelaksanaan umroh di
Jakarta. Tujuan kami ingin memastikan tiket keikutsertaan Anda buat hari esok.”
Fathan terdiam menerawang, bayangan Kakbah,
bayangan Masjidil Haram, bayangan mama. Melintas di benaknya.
“Mas, bagaimana?”
“Astaghfirullah, iya mbak. Maaf lupa.” Fathan
sedikit gugup.
“Bisa diundur nggak mbak?” Fathan bertanya, berharap ada keajaiban.
“Kenapa nggak bisa Mas?” wanita itu bertanya. Dengan
berat hati dia menjelaskan bagaimana posisinya saat ini. “Acaranya dua hari,
kalau Mas tidak bisa di tanggal 26, bisa ikut di tanggal 27 nya.”
“Oke mbak, nanti saya beri kabar lagi kepastiannya.”
Ya Allah, aku dilanda kebimbangan!
Aku harus pandai mencari celah, seperti kata
pepatah, sekali dayung dua tiga pulau terlampaui. Andai saja Jakarta ada di
dekat Kediri, Fathan berkhayal.
Aku tidak boleh menyerah.
Segera dia datangi kantor tempatnya kursus, mencoba
melakukan negosiasi dengan pemilik sekaligus direktur tempat kursus, Madam Erna,
tentang rencananya, tentang peluang yang dia dapatkan, tentang semuanya.
“Maaf ya, besok itu acara wajib. Tidak ada izin
untuk siapapun,” kata Madam tegas.
Fathan keluar dari kantor dengan wajah
tertunduk, layaknya seorang prajurit yang kalah perang. Tidak ada lagi yang
bisa aku lakukan selain mengikuti aturan.
Harapan Fathan yang terpendam semenjak di
pesantren, harapan mulia untuk memberi kado umroh untuk mama terasa makin sirna
saja, hilang.
Mungkin bukan rizkiku, mungkin juga bukan rizki
mamaku.
Fathan masuk ke dalam kamar. Dipandanginya poto
kecil di punggung pintu, sebuah poto kecil Masjidil Haram yang mengelilingi
Kakbah, sengaja dia tempel poto mamanya di sana dengan harapan bisa
memberangkatkan dia sesegera mungkin. Mungkin kado umroh ini akan datang di
saat yang lebih tepat. Hanya doa yang dia andalkan, karena Tuhan tidak pernah
bosan mendengar permintaan hamba-Nya sampai hamba itu sendiri yang bosan
meminta.
Allahumma ballighnal makkata wal madinata
Allahumma balligh ummahatinal makkata wal
madiinata
Bis shihhati was salaamah.
Nganjuk,
06 Februari 2016
Tiada ulasan:
Catat Ulasan