Sabtu, 6 Februari 2016

KADO UMROH UNTUK MAMA

KADO UMROH UNTUK MAMA
Penulis : Achmad Marzuqi

Teng teng teng teng
Sebuah nada sms membuyarkan konsentrasi belajar seisi ruang kelas.
“Who is bringing mobile phone?” Mr. Karim sontak melotot menebar pandangan.
“Keep silent please or I sell your mobile phone!” Lanjutnya mengancam.
Seisi kelas sedikit gaduh, saling menoleh mencari sumber suara sebelum akhirnya menemukan Fathan, pemilik sumber suara yang bergerak mengambil HP dari dalam tas.
kado umroh untuk mama
Aku tidak mau mengambil resiko, daripada dirampas oleh teacher.

***
“Mah, doakan Fathan bisa berangkat umroh bareng mama.”
 “Umroh sekarang nggak murah Han, memangnya sudah punya bekal?” Tanya mama penasaran.
“Dengan ini mah,” kata Fathan sambil menunjuk dada, “keyakinan.”
“Kamu ini Han baru dua bulan keluar dari pesantren, sudah berkhayal telalu tinggi,” tiba-tiba Mas Fauzan datang ikut menimpali.
“Hehe, mas Fauzan belum tahu ya,” jawab Fathan santai seraya ngeloyor pergi.
Hanya ada Fathan, Mas Fauzan dan mama di ruangan itu, sebuah ruangan kecil di tengah-tengah rumah. Ruang keluarga untuk saling berecengkrama dan makan bersama, sebuah televisi berukuran 14 inchi sedang menyala menemani makan malam mereka. “Ini lho mah, mas Fauzan,” Fathan mengelurkan starter kid milik perusahaan terkenal. “Apaan ini Han?” Mama mendekat, dibukanya lembar demi lembar halaman buku berukuran mini itu, full colour.
“Stop,” Fathan sontak menunjuk sebuah gambar, Masjidil Haram lengkap dengan Kakbah yang sedang dikelilingi oleh orang-orang yang thowaf. Di halaman sebelahnya ada sekumpulan jamaah yang berfoto bersama sambil membentangkan baliho besar dengan latar belakang goa Hiro.
“Ini teman-teman di kantor yang sukses,” kata Fathan penuh percaya diri.
“Kamu ikutan MLM? Bisnis yang nggak jelas ini,” Mas Fauzan menginterogasi.
“Ya mas, aku ikutan bisnis MLM.”
“Kamu sudah ditipu dengan bisnis seperti ini. Mas dulu juga pernah, bukan keberutungan yang mas dapat tapi kebuntungan.” Mas Fauzan menjelaskan. Perdebatan kecil terjadi, sebelum akhirnya mama melerai. “Sudahlah Zan, biarkan adikmu berjalan sesuai pilihannya.”
Fathan sedikit ragu, perang batin sempat berkecamuk di dalam hatinya. Jauh sebelum kakaknya mengingatkan. “Niat baik itu ibarat kilatan petir di langit, silau, menerangi. Namun hanya sekejap dan lenyap. Karenanya jika kamu mempunyai niat yang baik, segeralah untuk direalisasikan kebaikanmu itu atau kamu akan lupa dan tidak akan lagi mengerjakannya.” Kata-kata Pak Muslih, guru tilawah Fathan di pesantren menyalakan kobaran semangatnya yang hampir padam. Memberi kado umroh untuk mama. Meski baru sebatas niat. Niat baik saja sudah berpahala satu, apalagi sampai dilaksanakan. 
***
Segera Fathan mengaktifkan HP nya, satu sms belum ia baca.
Untung nggak sampai dirampas oleh teacher di tempat kursusan.
 “Yayasan Adz Dzikra Jakarta membuka pendaftaran umroh gratis, berlaku bagi masyarakat umum. Bagi yang berminat, silakan kirim SMS ke nomor ini...”
Huruf demi huruf ia rangkai menjadi sebuah kata yang membentuk beberapa kalimat. Pesan terkirim, butuh waktu sekitar 60 detik, sebelum sebuah jawaban masuk, dia ikuti ikuti prosedur yang ada. Alhamdulillah,
“Anda terdaftar dalam program umroh gratis bersama pesantren Az Zikra Ciputat. Segera chek in pada hari...”
Ingatannya melayang pada kejadian 3 tahun lalu, demi sesorang yang amat dia cinta, Mama. Perjuangannya dimulai setahun sebelum dia lulus pesantren. Fathan harus mencuri waktu demi berjualan koran di terminal dan perempatan lampu merah. Fathan harus bangun lebih awal demi belanja bumbu-bumbu masakan yang dia rangkai menjadi gorengan-gorengan seharga lima ratusan sebelum dia titipkan di warung tetangga. Fathan harus mengirit pengeluaran demi sebuah tabungan yang dia impikan.
Aku harus..
Mungkin Allah mempunyai kehendak lain, sehingga aku belum bisa merealisasikan mimpiku saat itu, termasuk saat aku memutuskan bergabung ke dalam bisnis MLM selepas lulus pesantren.
“Kita harus blusukan ke kampung-kampung layaknya tabib handal sambil menawarkan obat dan jasa pengecekan kesehatan gratis,”  kata Arif sahabatnya waktu itu.
“Jokowi dong.” Fathan berseloroh.
“Kau lihat Bang Rashid yang punya motor ninja itu, dulu dia juga sama seperti kita.” Arif berusaha meyakinkan.
Tak ada pilihan. “Han, bisnis ini butuh mental yang kuat, tebal tahan banting dan tebal muka. Saran Mas Fauzan mendingan kamu lanjut kuliah saja.”
Ah, masa lalu biarlah berlalu. Sekarang saatnya banting setir.
“Assalamualaikum Mah,”
“Waalaikumsalam Fathan,” jawab mama dari seberang telepon.
“Fathan dapat informasi ada program umroh gratis bersyarat dari Yayasan milik Ust. Arifin Ilham.”
“Apa syaratnya Han?” Suara mama terdengar penasaran.
“Lulus tes tahfizh 30 Juz mah.”
“Kebetulan sekali, ambil saja Han.” Fathan tahu jika mama begitu girang mendengar kabar ini. Namun dia harus jujur jika hari pengujian hafalan bersamaan dengan pengumuman di tempat dia kursus membuatnya bimbang untuk melangkah.
 “Apa kamu mau mengorbankan jerih payah kursusmu Han selama 3 bulan? Demi mengejar umroh yang belum tentu kamu dapatkan?” selidik mamah.
“Itulah, kenapa sih kesempatan itu datang bersamaan Mah?” Fathan kesal.
 “Kapan ya mama bisa ke sini,” suara lirih mama setiap melihat siaran ibadah haji selalu melecut semangat Fathan. Semangat untuk bisa memberangkatkan mama ke tanah suci Mekah.
Ah, jangankan ke Mekah, ke luar kota sendiri saja jarang.
Lupakanlah, lupakanlah Fathan. Sayangkan kursus dari tiga  bulan lalu gagal di menit-menit akhir. Fokus pada terget di tempat kursus. Hmm.. Maafkan anakmu ini  mah!
***
Sebuah nada ringtone meraung-raung, Fathan mengambil HP nya, nomor tak dikenal,
“Assalamualaikum, apa benar ini dengan Mas Fathan,” suara seorang wanita, halus.
“Ya benar mbak, saya sendiri.” jawab Fathan penasaran.
“Kami dari panitia pelaksanaan umroh di Jakarta. Tujuan kami ingin memastikan tiket keikutsertaan Anda buat hari esok.”
Fathan terdiam menerawang, bayangan Kakbah, bayangan Masjidil Haram, bayangan mama. Melintas di benaknya.
“Mas, bagaimana?”
“Astaghfirullah, iya mbak. Maaf lupa.” Fathan sedikit gugup.
“Bisa diundur nggak mbak?” Fathan  bertanya, berharap ada keajaiban.
“Kenapa nggak bisa Mas?” wanita itu bertanya. Dengan berat hati dia menjelaskan bagaimana posisinya saat ini. “Acaranya dua hari, kalau Mas tidak bisa di tanggal 26, bisa ikut di tanggal 27 nya.”
“Oke mbak, nanti saya beri kabar lagi kepastiannya.”
Ya Allah, aku dilanda kebimbangan!
Aku harus pandai mencari celah, seperti kata pepatah, sekali dayung dua tiga pulau terlampaui. Andai saja Jakarta ada di dekat Kediri, Fathan berkhayal.
Aku tidak boleh menyerah.
Segera dia datangi kantor tempatnya kursus, mencoba melakukan negosiasi dengan pemilik sekaligus direktur tempat kursus, Madam Erna, tentang rencananya, tentang peluang yang dia dapatkan, tentang semuanya.
“Maaf ya, besok itu acara wajib. Tidak ada izin untuk siapapun,” kata Madam tegas.
Fathan keluar dari kantor dengan wajah tertunduk, layaknya seorang prajurit yang kalah perang. Tidak ada lagi yang bisa aku lakukan selain mengikuti aturan.
Harapan Fathan yang terpendam semenjak di pesantren, harapan mulia untuk memberi kado umroh untuk mama terasa makin sirna saja, hilang.
Mungkin bukan rizkiku, mungkin juga bukan rizki mamaku.
Fathan masuk ke dalam kamar. Dipandanginya poto kecil di punggung pintu, sebuah poto kecil Masjidil Haram yang mengelilingi Kakbah, sengaja dia tempel poto mamanya di sana dengan harapan bisa memberangkatkan dia sesegera mungkin. Mungkin kado umroh ini akan datang di saat yang lebih tepat. Hanya doa yang dia andalkan, karena Tuhan tidak pernah bosan mendengar permintaan hamba-Nya sampai hamba itu sendiri yang bosan meminta.
Allahumma ballighnal makkata wal madinata
Allahumma balligh ummahatinal makkata wal madiinata
Bis shihhati was salaamah.  

Nganjuk, 06 Februari 2016 

Tiada ulasan:

Catat Ulasan