PROKLAMASI KEMERDEKAAN
FAUZAN
Oleh : Achmad Marzuqi
Lelaki
itu menatap kosong halaman di belakang rumahnya. Di depannya tampak pepohonan
dan tanaman yang tumbuh tidak beraturan, pohon mangga yang sudah habis
musimnya, pohon bambu yang terpancang kokoh, singkong dan pohon pisang yang
terlihat mendominasi. Tak ada yang menarik untuk dilihatnya, tatapannya
tetaplah kosong.
“Hehehe,
jadi begini ya pekerjaan mantan guru satu ini.”
Kata-kata
kakak nya kemarin terngiang kembali di benaknya. Ia hanya tersenyum.
“Belum
waktunya jadi guru lagi,” kilahnya
“Kamu sudah hampir sebulan lho di sini.”
“Gapapa
Mas Aziz, santai aja keles, masih banyak waktunya,” ia beralasan.
“Masa
kerjanya hanya menyapu dan menjaga warung,” kata sang kakak seraya ngeloyor
pergi.
Merenung di pinggiran Pulau Anambas |
“glek..
glek.,”
diminumnya kopi yang menemaninya pagi ini. Tatapannya sedikit tajam.
Ada raut kesal di mukanya.
Sinar
mentari mulai menjalar terang tak terbendung,
awan-awan tipis tampak berbaris
sambung menyambung, burung-burung gereja tampak berloncatan di pematang sawah
sambil bersenandung. Lelaki itu segera bangkit dari tempat duduknya, saatnya
membantu Emak berjualan di warung.
“Fauzan,
Gus Mad nanyain tentang kamu,” tiba-tiba Mbak Faizah datang ke warung memberi
kabar.
“Ada
perlu apa?” Fauzan penasaran.
“Beliau
memberi tawaran untuk mengajar di daerah Kalimantan Tengah,” jelas Mbak Faizah.
“Oh iya iya, kemarin sempat bertemu di Pasar
saat berbelanja.”
“Jadi,
gimana. Iya apa nggak?” Mbak Faizah memotong
“Aku
belum bilang ke Emak.”
“Yaudah,
cepetan sana!”
“Bolehkan
Mak?” Fauzan sedikit merayu Emaknya setelah dia menjelaskan secara detail
penawaran dari Gus Mad.
“Kamu
serius Zan?” Gantian Emak bertanya.
Fauzan
tampak diam, ragu untuk menjawab. Anggukan kepalanya terlihat kurang
meyakinkan. “Fauzan ingin mencobanya Mak.”
“Ini
bukan untuk coba-coba Zan. Di sana sedang dibutuhkan guru mengaji sekaligus
imam yang bisa mengurus Masjid,” sambung Mbak Faizah. “Jadi bukan program
bulanan, tapi tahunan, bahkan sampai berkeluarga, sampai seumur hidup.
“Kamu
siap Zan?” Emak memastikan.
“Emmm...
Siap kalau sebulan atau dua bulan,” jawab Fauzan gentar.
“Kalau
gitu nggak usah aja. Cari kerja yang dekat-dekat.” Kata Emak.
Suasana
mendadak sunyi, kebetulan warung sedang sepi. “Baiklah,” Fauzan memecah
kesunyian. “Tolong Mbak Faizah sampaikan ke Gus Mad kalau aku belum bisa.”
Sudah lebih dari sebulan ini Fauzan tinggal di
rumah, setelah memutuskan resign dari profesi mengajarnya di Jakarta. Niat hati
ingin mengajar di daerah yang tak jauh dari kampung halaman, namun apalah daya
persaingan begitu ketat. Jadilah dirinya bersama ibunya berjualan di warung.
“tak banyak yang menyadari jika di dalam rumah ada pekerjaan yang berbonus
Surga. Dan ibumu adalah surgamu,” hiburnya.
Namun
itu hanyalah prinsipnya dulu, di awal-awal dia memutuskan tinggal bersama Emaknya,
setelah merantau hampir dua puluh tahun di daerah Jakarta dan sekitarnya hingga
mendapat tempat yang layak sebagai tenaga pengajar. Kini prinsip itu mulai
memudar seiring gunjingan para tetangga dan ibu-ibu yang sering belanja di
warung Emaknya. Fauzan amat mafhum jika pemuda seumuran dirinya masih betah
tinggal di rumah orangtua itu artinya akan menambah angka pengangguran di
kampungnya.
Apakah
aku salah.
Bukankah
ini keputusan yang mulia.
Mengapa
orang-orang menggunjingnya sebagai pengangguran.
Pikirannya
makin campur aduk.
“Kalau
kamu tinggal di rumah ibumu, kamu tidak akan berkembang. Sahabatku sedang
membutuhkan guru mengaji di Kalimantan. Cobalah, ke sana supaya hidupmu
berkembang.” Jelas Gus Mad, seorang ustadz dari kampung sebelah tempo hari.
Iya
benar, aku harus berkembang.
Aku
harus tetap berpenghasilan.
Dimatikannya
lampu di dalam kamar, dengan harapan bisa bangun untuk shalat malam.
Aku
harus segera bangkit
Aku
harus menemukan semangatku yang hilang.
Fauzan
bangun dari duduk iktikafnya. Doa-doa telah ia panjatkan di sela-sela shalat malam.
Diambilnya
kertas folio berukuran sedang, pena kecilnya mulai menari.
PROKLAMASI KEMERDEKAAN FAUZAN
Saja
Fauzan Azhiman putra dari Bapak Fathan Mubinan dengan ini menjatakan
kemerdekaan diri dari segala kemalasan. Saja haroes tetap berpenghasilan dan mampoe
membeli motor Honda idaman. Hal-hal jang mengundang kemalasan haroes segera
dibinasakan. Tetap semangat dan jangan terlaloe menghiraukan apa kata orang.
Anjoek Ladang, 01 Februari 2016
Tak
lupa dia menulis beberapa Top Target yang harus dia capai di tahun ini. Sebelum
keduanya dia tempel di dinding dalam kamar.
“Aku
Akan Pergi Mak” sebuah puisi juga dia siapkan jika seandainya dia berhasil
mendapatkan pekerjaan di daerah luar. Pekerjaan yang membuatnya keluar dari
kampung halaman untuk sementara waktu, demi menggapai target yang dia tetapkan.
Kertosono, 01 Februari 2016
Tiada ulasan:
Catat Ulasan