SEMAAN AL QURAN MANTAB:
REALITA KEHARMONISAN ULAMA dan
UMARO
By: Achmad Marzuqi
Ada yang tak lazim dari acara Semaan Al Quran
yang diadakan di desa tetanggaku kali ini, Pandantoyo (23/02) . Keadaan yang
tak lazim menurut pandanganku namun bisa jadi lazim dalam pandangan orang lain.
Bagaimana bisa ribuan orang mustamiin ini berkumpul di sebuah majelis
terbuka, dari yang beroda dua, empat hingga kelipatannya.
Apa juga yang mengundang mereka bersusah
payah datang ke sini.
Bukan perkara yang sulit untuk diungkap,
karena posisiku berdekatan dengan acara yang sedang diadakan.
“Beeh, seribu lima ratus bungkus makanan
habis dibagikan,” ujar mbakku mencoba berbagi cerita.
“Waw, banyak banget tuh,” sepontan aku
menimpali.
“Barusan ada lagi yang datang, tiga elf dan
satu mobil,” mbakku melanjutkan kisahnya.
Belum sempat aku memberi komentar, mbakku
sudah nyerocos lagi, “sampai sampai Pak Anshori marah gegara makanan telah
habis dibagikan dan yang barusan datang tidak kebagian kecuali sebotol air
mineral.”
“Lho emang aturannya kan seperti itu,”
kakakku ikut comment.
“Aturan apa Mas,” tanyaku masih bingung.
“Aturan pembagian konsumsi, jadi batas
pembagian konsumsi itu jam sembilan pagi. Jadi jamaah yang datang setelahnya
hanya dapat jatah makan siang dan malam,” kata kakakku memperjelas.
Aku hanya mengangguk pelan. Sedikit mulai
faham.
Kalau nanti fahamku mulai bertambah, ingin
rasanya mengangguk keras layaknya penyanyi dalam grup Project Pop, guk
angguk angguk angguk angguk. Sambil memutarkan kepala. Gila.
Dasar aku memang kepo. Berbagai pertanyaan
aku lontarkan, demi mengumpulkan informasi. Apalagi ada kata seribu lima ratus
bungkus nasi habis terbagi. Dari mana?
Setiap Zakariya masuk untuk
menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakariya berkata:
"Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?" Maryam
menjawab: "Makanan itu dari sisi Allah". Sesungguhnya Allah memberi
rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.(Qs. Ali Imron:37)
Kalau bicara tentang sumber
rizki, ya pasti tidak ada yang membantah dialog di atas. Namun lewat perantara
siapa?
“Emak tadi ngirim berapa
bungkus?” tanyaku pada ibu.
“Lima bungkus nak,” jawab ibu
lembut.
“Kalau Mbak Ul, Mbak Sur dan yang
lainnya Mak?”
“Itu urusan masing masing nak,
pokoknya udah dijatah di tiap RT,” sambung ibu.
“Oh gitu,” kataku.
“Minimal seratus bungkus untuk
tiap RT,” ibuku melanjutkan.
Masa iya? Satu RT.
Hmmm..
Aku mulai menghitung hitung. Jika
seandainya di desaku ada empat RW dan masing-masing RW mempunyai empat RT. Itu
artinya total ada enam belas RT dikali seratus.
Waw, sudah ada seribu enam ratus
bungkus untuk sarapan pagi. Itu baru dari satu desa, belum desa tetangga, desa
penyelenggara.
Berapa ya?
Sebuah selebaran aku dapatkan
dari tangan ibuku, selebaran yang bertanda tangan kepala desa. Isinya meminta
kesadaran warga desa untuk ikut membantu memberikan sumbangan nasi timbel demi
kelancaran Semaan Al Quran Mantab yang rutin diadakan pada hari Selasa Pon ini.
Mungkin ini adalah salah satu
berkah, jika Ulama dan Umaro (pemerintah) bergandeng tangan. Maka segala
rintangan dan masalah bisa terselesaikan.
Bukankah Semaan Al Quran Mantab
ini gagasan Ulama?
Bukankah selebaran permintaan
bantuan nasi timbel dari Umaro?
Ini hanya contoh dalam sekala
kecil, sekala kabupaten. Jika sekalanya nasional, berkah dahsyat apalagi yang
akan menanti?
Jikalau Sekiranya penduduk
negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada
mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami)
itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya (Qs. Al Araf: 96)
Pandantoyo,
24 Februari 2016
0 ulasan:
Catat Ulasan