Isnin, 25 Januari 2016

MASJID AL MUBASYIRIN PRIOK
By : Achmad Marzuqi

Al Mubasyirin yang penuh kenangan
Suka dan duka yang kurasakan
Tak sanggup aku rangkai dengan tulisan
Sebulan sudah tugas ini aku selesaikan
Kini tiba saatnya perpisahan
Selamat tinggal kawan...
Sampai jumpa di Ramadhan mendatang
Masa yang insyaallah penuh dengan keberkahan
Ku kan merindukanmu
Hingga saat yang tak menentu
I Miss you
Salam manis dariku
Achmad marzuqi, 17 Juli 2015





bersama ust. Amirul di camp Imam

Jakarta Islamic Centre

Santri-santri Cilik Al Mubasyirin Jakarta Utara

ANTARA TAHLIL dan PANCASILA
Kiyai-kiya milik orang NU, gus-gus ataupun tokoh agama dalam metode berdakwah tidaklah melulu dalam keadaan serius. Selingan canda, guyonan selalu mewarnai ceramah-ceramahbeliau. NU boleh bangga dengan goyonan ala Gus Dur, tapi jangan melupakan yang lain.
bareng siswa-siswa SMPIT Al Araf
Di sini saya akan memaparkan bagaimana Drs H Saifullah Yusuf yang juga Wakil Gubenur Jawa Timur bergurau. Gus Ipul, sapaan akrabnya tidak pernah absen memberikan guyonan saat diberi kesempatan sambutan di atas mimbar. Berikut salah satu humor Gus Ipul yang disampaikan pada kegiatan Halaqoh Majelis Alumni IPNU di Surabaya beberapa waktu berselang.
Jauh sebelum bangsa ini merdeka, para kiai berdebat dengan para tokoh mau dijadikan negara Islam atau negara sekuler. Akhirnya Bung Karno memutuskan negara Pancasila.
Nah Pancasila itu seperti apa?
“Kalau ingin melihat pelaksanaan Pancasila yang benar dan tepat, maka lihatlah orang tahlilan. Inilah filosofi Pancasila,” kata Gus Ipul meyakinkan hadirin.
Satu, orang tahlil itu pasti baca surat al-Ikhlas yang berbunyi Qulhu Allahu Ahad Allahusshomad. “Itulah Ketuhanan yang Maha Esa dan di dalam tahlil pasti baca itu. Yang artinya Tuhan itu satu,” terang Gus Ipul.
Kedua orang tahlil di lingkungan NU itu, siapapun boleh datang dan ikut, tidak ada seleksi, tidak ada pertanyaan “Kamu bisa tahlil gak?” Kalau gak bisa disuruh keluar, di NU tidak seperti itu. “Bahkan non muslim pun boleh masuk dan orang yang bid’ah-bid’ahkan tahlil dipersilahkan ikut,” ungkapnya. Tidak ada yang dibeda-bedakan, lanjutnya. Itulah kemanusiaan yang adil dan beradab.
Dan kalau dilihat di kampung-kampung, orang tahlil itu duduknya bersila semua. Tidak dibedakan duduknya seorang pejabat, kiai, santri dan orang biasa, semuanya sila, rata. “Itulah persatuan Indonesia terdapat dalam sila ketiga Pancasila, yakni semua duduknya bersila,” katanya.
Setelah itu, menjelang dimulai, di sanalah mereka mencari pemimpin, mereka saling tuding menuding, satunya bilang jenengan saja yang mimpin dan yang lainnya juga bilang jenengan yang lebih pantas. “Di sanalah terjadi musyawarah kecil-kecilan mencari seorang pemimpin tahlil,” katanya dengan senyumnya yang khas. Setelah itu terpilih satu yang memimpin tahlil. “Itulah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan atau perwakilan,” terangnya.
“Setelah tahlil selesai, berkatnya keluar,” katanya. Semuanya mendapatkan berkat yang sama tanpa ada berbedaan baik tampilan dan isinya juga sama. “Itulah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” sergahnya.
Gus Ipul memastikan apa yang dikatakan pernah disampaikan KH Yasin Yusuf seorang muballig, ulama yang sangat terkenal dari Blitar dan pidatonya mirip sekali dengan Bung Karno. “Ini rawahu Kiai Harun Ismail, saya kutip,” pungkas Gus Ipul disambut aplaus hadirin. (Rofii)


Popular Posts