ANTARA NGANJUK DAN SURABAYA
“Pak, kalau pemberaangkatan bus yang
selanjutnya jam berapa?” tanya Lukman pada seorang kundektur yang sedang
mendata jumlah penumpang.
“Oh, langsung saja Mas ke belakang. Masih ada
satu lagi yang akan berangkat, bus ini sudah penuh.” ucap sang kondektur.
Lukman pun menyusuri kursi demi kursi bus
yang penuh berisi penumpang sebelum akhirnya keluar dan pindah ke dalam bus
yang mengekor di belakang.
Dia cukup bersyukur mendapatkan tempat duduk
meski menempati kursi panjang di bagian belakang. Masih tersisa lima lagi kursi
yang kosong.
Alhamdulillah
Pagi ini menjadi pagi yang luar biasa untuk
Lukman. Apa pasal?
Lihat saja, putri mentari belum keluar dari
peraduannya. Mungkin masih malu-malu.
Ayam-ayam jantan pun masih belum tersadar
dari mimpinya. Begitu pula suara azan Pak Umar, tetangganya yang saban subuh
biasa mebangunkan tidurnya. Belum lah terdengar. Namun sepagi ini alarm HP Nokia jadul telang
meraung-raung memanggilnya.
Pukul 03.00
Bergegas dia bangun, merapikan kamar,
berwudhu dan pamitan pada ibunya.
“Doain Lukman ya Bu, bisa lulus tes di
Surabaya.”
“Turun mana Mas?” tanya kondektur.
“Terminal Pak. Terminal Bungurasih,” jawab
Lukman seraya menyodorkan selembar uang lima puluh ribuan.
“Ini kembaliannya Mas.”
Satu,
dua, tiga...
Oh, dia baru tahu harga tiket ke Surabaya
sebesar empat belas ribu rupiah. Empat ribu lebih mahal jika dibandingkan
dengan menggunakan jasa kereta api. Sayang sekali, sehari sebelum berangkat
tiket kereta yang hendak dia pesan ludes dipesan penumpang.
“Kalau hari Senin, suka habis duluan Mas.” kata
pelayan tiket di stasiun.
Alamaak.
|
mengadu nasib di kotametropolitan |
Lukman mencoba mengeluarkan HP Nokia
miliknya.
Jika satu gerbong kereta ada 115 penumpang. Dikali
5 gerbong berarti ada 575 orang yang
pergi ke Surabaya dini hari ini.
Belum yang di bus ini atau bus yang lainnya.
Gila ini orang-orang. Apa sih yang mereka
cari. Pikirnya.
Bagi Lukman, kota Surabaya ibarat magnet yang
selalu memiliki daya tarikyang tidak ada habisnya. Bukan hanya karena kota ini
memiliki ikon predator Ikan Sura dan hewan reptil Buaya. Tetapi juga kerena ada
sosok yang dia kagumi selama ini. Sosok wanita yang telah mengubah wajah Surabaya
menjadi lebih baik dan bermartabat.
Suatu saat nanti aku mau selfie dengan Ibunda
Risma, gumamnya lirih.
Ngaco Man kamu ini...
Sudah sejam lebih Lukman duduk dalam bus. Riuh
panggilan Subuh sudah lima menit berlalu.
“Kalau lancar, nggak sampai tiga jam Mas,”
kata bapak berkaca minus di sebelahnya.
Dia bilang sudah tiga tahun kerja di
Surabaya, Sabtu Minggu libur jadi bisa pulang kampung.
Ternyata benar cerita horor kawannya yang
mengajar di Surabaya.
“Mending naik bus Mandala saja, tapi yang
berangkat jam tiga,”
“Memang kenapa Kim?” tanya Lukman masih
penasaran.
“Ah kamu Man, kayak ndak tau Surabaya aja to,”
canda Hakim kental dengan logat khas Jawanya.
“Hmmm..”
“Lihat saja nanti pas lagi berangkat.” Lanjut
Hakim.
Buktinya.
Jarum panjang jam tangan miliknya belum genap
berputar 180 derajat penumpang bus ini malah makin padat. Dari tempat dia duduk
sudah cukup terlihat berapa jumlah kursi yang berjejer rapat.
Ada 50 kursi dengan posisi dua dan tiga. Sedang
6 kursi sisanya berderet memanjang dari kiri ke kanan. Di tengah antara kedua
posisi kursi, para penumpang yang lain berdiri berdesakan. Membuat pak
kondektur sibuk maju mundur maju mundur ala Princes Syahrini, artis yang selalu
bikin sensasi.
Lho kok jadi ngomongin orang!
Astaghfirullah
Sebuah cerita horor pernah dialaminya kala
pulang dari rumah kawan. Bus yang dia tumpangi ternyata penuh sesak dengan
penumpang sehingga memaksa dia untuk berdiri. Hanya ada besi melintang di atap
bus tempat dia menyandarkan dua tangan.
Namun sayang, rasa kantuk berat sudah keburu
menyerang. Jadilah dia terjatuh dengan dengan kepala membentur kursi penumpang.
Beruntung helm yang dia bawa masih menempel
di kepala.
Buntungnya, justru suara benturan helm
menarik pandangan mata penumpang di sekitarnya.
Aduh, malunya!!
Kini sebuah harapan menggelayut di benaknya. Harapan
mendapatkan pekerjaan demi sebuah kehidupan yang lebih mapan. Di kampungnya
yang terletak di Kabupaten Nganjuk pinggiran, mengandalkan gaji sebagai guru
ngaji seperti seperti menunggu datangnya hujan yang tak pasti.
Perusahaan tempat dia melamar pekerjaan memanggilnya
untuk datang.
Yah, antara Nganjuk Surabaya tergantung
banyak harapan.
Dari orang-orang yang mengadu nasib demi sesuap makanan.
termasuk dari pemuda kampungan.
Yang bernama Lukman.
Nganjuk, 15
Maret 2016