Ahad, 24 Jun 2012

Menurut bahasa kata "mu’jizah" berasal dari kata "'ajz" (lemah), kebalikan dari kata "qudrah" (kuasa). Pada dasarnya Mu’jiz itu adalah Allah SWT., yang menyebabkan selain-Nya lemah. Pemberi kekuasaan kepada selain-Nya juga adalah Zat Allah SWT., karena Ia sebagai Penguasa mereka. Sebagai bentuk mubalaghah (penegasan) kebenaran berita, mengenai betapa lemahnya orang-orang yang didatangi Rasul untuk menentang mu’jiz tersebut, maka huruf "ta" marbuthah ditambahkan kepada kata "mu’'jiz" sehingga menjadi "mu’jizah ". Bentuk mubalaghah ini juga terjadi, misalnya pada kata, "'allamah", "nassabah", dan "rawiyah".

Menurut para Mutakallimln (teolog), mukjizat ialah muncul­nya sesuatu hal yang berbeda dengan adat kebiasaan yang terjadi di dunia (dar al-taklif) untuk menunjukkan kebenaran kenabian (nubuwwah) para Nabi.



Al-Thusi mendefinisikan mukjizat dengan terjadinya sesuatu yang tidak biasa terjadi, atau terjadinya sesuatu yang menggugur­kan sesuatu yang biasa terjadi yang disertai dengan perombakan terhadap adat kehiasaan, dan hal itu sesuai dengan tuntutan,

AI-Quran ialah mukjizat abadi Nabi Muhammad saw., yang dengannya seluruh manusia dan jin ditantang untuk membuat yang serupa dengan Al-Quran tersebut, sebuah atau sepuluh surat yang sama dengan surat yang ada di dalamnya. Para ahli balaghah dan para ahli bahasa Arab di antara mereka ternyata tidak mampu membuat sebuah surat pun yang serupa dengan surat yang ada di dalam Al-Quran sehingga akhirnya mereka menggunakan kekuatan dengan berupaya memerangi Rasulullah, menawarkan jabatan dan harta kepada beliau, bukan membuat sehuah surat yang serupa dengan AI-Quran. Allah SWT. di dalam Kitab-Nya menjelaskan bahwa AI-Quran merupakan mukjizat:

 



Dan orang-orang kafir Makkah mengatakan: “Mengapa kepadanya tidak diturunkan mukjizat-mukjizat dari Tuhan­nya?" Katakanlah: "Sesungguhnya mukjizat-mukjizat ter­sebut terserah kepada Allah. Dan sesungguhnya (Muhammad) hanyalah seorang pemberi peringatan yang nyata."Dan apakah tidak cukup bagi mereka bahwa kami telah menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Quran) dan ia dibacakan kepada mereka? Sesungguhnya di dalam Al-Quran itu terdapat rahmat yang besar dan peringatan bagi orang-orang yang ber­iman. (Al-Ankabut: 50-51)

 

Dengan penjelasan ini, Allah SWT. menegaskan bahwa Al-Quran merupakan ayat yang terang dan mukjizat yang cukup bagi manusia.

Jumhur kaum Muslimin berpendapat bahwa Al-Quran sendiri merupakan mukjizat (mu ’jiz bi dzatih). Maksudnya, bahwa Al­Quran dengan seluruh yang ada di dalamnya, termasuk struktur kalimat; balaghah, bayan (penjelasan), perundang-undangan (tasyri'), berita-berita gaib dan seluruh persoalan lain yang merupa­kan mukjizat, telah menyebabkan seluruh manusia tidak mampu membuat yang serupa dengannya.

Abu Ishaq Ibrahim Al-Nidzam, seorang Mu'tazilah, dan Al­-Syarif Al-Murtadha, seorang Syi'ah Ja'fari berpendapat bahwa Al-Quran itu mu’jiz bi al-sharfah. Yang dimaksud dengan sharfah adalah bahwa Allah SWT. memalingkan hamba-hamba-Nya dengan menarik kehendak mereka, dan dengan mengelukan lidah-lidah mereka untuk membuat yang serupa dengan Al-Quran.

Sebenarnya, Al-Quran merupakan mukjizat (mu’jiz bi dzatih), adalah disebabkan ketinggian balaghah, struktur bahasa, bayan, dan perundang-undangan (tasyri')-nya yang adil dan relevan bagi manusia, potensi-potensinya, tujuan penciptaannya yang harmonis dengan hukum alam yang umum, dan juga berita-berita gaibnya yang manusia tidak akan mampu memberitakan hal demikian. Al-Baqilani mengatakan: "Seandainya Al-Quran bukan merupakan mukjizat berdasarkan yang telah kami sifatkan dari segi struktur bahasanya yang mumtani' (tidak mungkin tertandingi), maka kendatipun Al-Quran disusun dengan struktur bahasa yang sangat tinggi dan dengan kefasihan yang sangat tinggi pula, tentu kemukjizatannya akan lebih hebat lagi seandainya mereka dipalingkan untuk membuat yang serupa dengannya, seandainya mereka dicegah untuk menentangnya, serta seandainya anggapan-anggapan mereka dibelokkan dari padanya. Tentu pula hal itu menunjukkan tidak perlunya AI-Quran diturunkan dengan struktur bahasa yang indah, fasih dan menakjubkan. Sebab, seandainya mereka dipalingkan dari anggapan-anggapannya, niscaya orang-orang jahiliah sebelum mereka tidak perlu dipalingkan dari kefasihan, balaghah, keindahan struktur bahasa dan ke­ajaiban susunannya, karena mereka tidak ditantang oleh Al-Quran untuk melakukan yang serupa, di samping hujjah-nya pun tidak selayaknya diungkapkan mereka. Oleh karena itu, tidak pernah dijumpai pembicaraan seperti itu sebelumnya. Hal itu merupakan bukti bahwa apa yang diklaim oleh seseorang yang meyakini adanya sharfah, merupakan suatu kebatilan yang nyata, yang akan mem­batalkan pendapat mereka mengenai adanya sharfah tersebut. Seandainya penentangan itu mungkin, maka kalam bukan merupakan mukjizat. Mukjizatnya justru pada pelarangan, sehingga kalam itu sendiri tidak lebih istimewa dari yang lain. Maka tidak mengherankan apabila dikatakan: ‘Sesungguhnya semua orang akan mampu membuat yang serupa dengan Al-Quran, hanya saja mereka terlambat karena mereka tidak mengetahui bentuk susunan (seperti AI-Quran - penj.), seandainya mereka telah mengetahuinya, pasti mereka akan mampu melakukannya'."

Al-Khithabi menolak pendapat bahwa Al-Quran merupakan mukjizat bi al-sharfah. Beliau mengatakan: "Al-sharfah, merupakan hal yang tidak begitu berbeda dengan i’jaz. Hanya saja, petunjuk ayat membuktikan sebaliknya, yaitu firman Allah SWT.:

 

 

 

Katakanlah: "Seandainya manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa dengan Al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan mampu membuat yang serupa dengannya, sekali­pun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain. " (Al-Isra: 88)

 

Dalam hal demikian, ia menunjuk kepada persoalan yang caranya bersifat takalluf (dibuat-buat) dan diupayakan, dengan cara yang matang dan dilakukan bersama-sama. Dan yang dimaksud dengan al-sharfah seperti yang telah mereka sifatkan tidaklah sejalan dengan sifat ini sehingga hal ini menunjukkan bahwa yang di­maksud adalah sifat yang lain. Wallahu a'lam."

Muhammad bin Amru Al-Razi, dalam tafsimya Al-Kabir, menegaskan bahwa kedua pendapat tersebut - pendapat yang mengatakan bahwa Al-Quran sendiri merupakan mukjizat, dan pendapat yang mengatakan bahwa Al-Quran mu’jiz bi alsharfah - satu sama lain menjadi pendahulu di dalam memberikan bukti.

Beliau mengatakan: "Al-Quran, baik ia sendiri merupakan mukjizat atau bukan, adalah mukjizat. Apabila ia merupakan mukjizat maka ia sudah sampai kepada yang dimaksud. Apabila ia bukan merupakan mukjizat, bahkan banyak orang yang mampu untuk menentangnya, dan untuk melakukan hal demikian tidak dipalingkan dan dilarang, maka atas dasar ini tindakan menandingi­nya merupakan sesuatu keharusan dan kelaziman. Dengan ke­tidakmampuan menandingi tersebut, dengan disertai kemungkin­an-kemungkinan, jelas merupakan pembatal terhadap kebiasaan sehingga ia merupakan mukjizat."

Sedangkan penulis .Al-Mizan bi Tafsir Al-Quran berpendapat bahwa Al-Quran sendiri merupakan mukjizat (mu’jiz bi dzatih). Beliau mengatakan: "Firman Allah SWT.: 'Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran? Kalau sekiranya Al­Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka akan mendapat­kan pertentangan yang banyak di dalamnya,' jelas merupakan bukti bahwa AI-Quran tidak mungkin dapat ditandingi oleh manu­sia dengan mendatangkan sesuatu yang serupa dengannya. Wujud Al-Quran itu sendiri yang pada lafaz dan maknanya tidak terjadi pertentangan, itu saja, tidak mungkin dapat ditandingi oleh makhluk untuk membuat kalam yang tidak dikenai pertentangan di dalamnya. Bukan karena Allah memalingkan mereka sehingga mereka tidak bisa menandinginya dengan menunjukkan per­tentangan di dalamnya, dan pendapat mereka yang mengatakan bahwa kemukjizatan   AI-Quran  itu bi al-sharfah (pemalingan) merupakan pendapat yang tidak bisa dijadikan sandaran."

Al-Rummani Ali bin Isa, seorang Mu'tazilah, di dalam buku­nya Al-Nukat fi /’jaz Al-Quran, juga berpendapat mengenai adanya i’jaz balaghi, juga berpendapat bahwa kemukjizatannya bi al­ sharfah. Pendapat ini diikuti oleh Al-Nadhdham AI-Mu'tazili, Hisyam Al-Quthi, dan Ibad bin Sulaiman. AI-Qadhi Abdut Jabbar Al-Mu'tazili berpendapat bahwa i jaz itu pada kefasihan Al-Quran. Adapun al-sharfah (pemalingan) merupakan hujjah yang lazim bagi yang berpendapat demikian.

Yang dimaksud dengan al-sharfah oleh Mu'tazilah ialah baitwa Allah SWT. memalingkan kehendak mereka untuk me­nandingi AI-Quran.

Meieka berpendapat: "Sekiranya Allah SWT. mengangkat Nabi pada masa kenabian (nubuwwah), dan mukjizatnya terjadi ketika menggerakkan tangannya, melangkahkan kakinya, atau sewaktu duduk di antara kaumnya, kemudian dikatakan kepadanya: 'Apa bukti kebenaranmu?' Beliau menjawab: 'Bukti kebenar­anku ialah bisa menggerakkan tanganku atau menjulurkan kakiku, dan kalian tidak mungkin dapat melakukan seperti yang telah kulakukan.' Andaikan seluruh kaum badannya dalam keadaan sehat, sedikit pun anggota badan mereka tidak cacat. Selanjutnya beliau menggerakkan tangannya atau menjulurkan kakinya, kemudian mereka mulai mau melakukan seperti yang beliau laku­kan, akan tetapi mereka tidak bisa melakukannya. Semua itu merupakan bukti atas kebenarannya."

Sebenarnya argumentasi mereka yang berpendapat bahwa Al-Quran merupakan rnukjizat bi al-sharfah (pemalingan) seperti itu, pada dasarnya adalah mukjizat dengan halangan yang bersifat eksternal, bukan dari AI-Quran itu sendiri. Halangan eksternal ini bukanlah pendahulu bagi halangan sejati (al-imtina' al-dzati). Bagi mereka yang berpendapat demikian, suatu kalam yang paling tinggi dan yang sebaliknya - dalam balaghah - adalah sama, selama halangan tersebut bersifat eksternal. Selanjutnya, sekiranya yang memalingkan dari luar Al-Quran sendiri, maka orang Arab, seperti Musailamah dan yang lainnya, yang berusaha menandingi Al-Quran, akan gagal dan binasa.

Perlu dijelaskan bahwa antara mukjizat dan mumtani' ada perbedaan. Sebagaimana telah kami jelaskan sebelumnya, mukjizat adalah terjadinya sesuatu yang tidak biasa terjadi atau terjadinya sesuatu yang menggugurkan sesuatu yang biasa terjadi yang disertai dengan perombakan terhadap adat kebiasaan, dan hal itu sesuai dengan tuntutan. Adapun mumtani' ialah sesuatu yang pada hakikatnya ia sendiri bersifat mustahil terjadi, yaitu bahwa ketika akal menggambarkan suatu subtansi mumtani', pada dasarnya, subtansi tersebut mustahil terwujud. Contoh, menggambarkan wujud lingkaran yang diameternya lebih besar dari kelilingnya. Pada dasarnya, ketika akal menggambarkan subtansi tersebut, ia menghukumi bahwa hal itu tidak akan terwujud, seperti mustahil­nya bahwa bagian itu lebih besar dari keseluruhan, dan mustahil­nya dua hal yang kontradiksi bisa bersatu. Contoh-contoh subtansi di atas, pada dasarnya ia sendiri bersifat mumtani' (mustahil ter­wujud). Actapun mukjizat, tidak bersifat mumtani', seperti membekunya air laut sebagai benteng kepada Musa a.s., atau tidak membakarnya api kepada Ibrahim a.s. yang menurut kebiasaan api itu membakar. Semua ini termasuk hukum-hukum alam (al­sunan al-kauniyyah) yang telah diciptakan Allah SWT., hanya saja hukum-hukum alam tersebut tidak mungkin bisa diubah selain oleh Penciptanya, yaitu Allah SWT, karena seluruh manusia tidak akan mampu mengubahnya.

 



Sungguh kamu sekali-kali tidak akan mendapati perubahan pada sunnatullah (hukum alam). (AI-Ahzab: 62)

 

Apabila seorang Nabi diminta untuk mendatangkan suatu bukti, maka dengan izin Allah SWT. dia akan mampu mengubah sunnatullah tersebut, karena pada dasarnya sunnatullah itu bisa berubah, hanya saja bagi manusia ia bersifat mumtani' (mustahil berubah). Dengan kata lain, mukjizat itu bersifat mumtani' bagi manusia, akan tetapi dengan izin Allah SWT. bersifat mungkin bagi Nabi. Sedangkan mumtani' sendiri pada hakikatnya bersifat mumtani', dan kekuasaan Allah tidak berkaitan dengan al-mun­tani'at (hal-hal yang bersifat mumtani'). Al-Quran sendiri merupa­kan mukjizat. Artinya, bahwa setiap makhluk mustahil akan mampu membuat vang serupa dengannya. Sedangkan hubungan­nya dengan Allah SWT tentu Ia akan mampu membuat yang serupa dengannya, karena Ia sendiri Mahakuasa atas segala sesuatu.

0 ulasan:

Catat Ulasan

Popular Posts

Blog Archive