Selasa, 15 Mac 2016

ANTARA NGANJUK DAN SURABAYA

“Pak, kalau pemberaangkatan bus yang selanjutnya jam berapa?” tanya Lukman pada seorang kundektur yang sedang mendata jumlah penumpang.
“Oh, langsung saja Mas ke belakang. Masih ada satu lagi yang akan berangkat, bus ini sudah penuh.” ucap sang kondektur.
Lukman pun menyusuri kursi demi kursi bus yang penuh berisi penumpang sebelum akhirnya keluar dan pindah ke dalam bus yang mengekor di belakang.
Dia cukup bersyukur mendapatkan tempat duduk meski menempati kursi panjang di bagian belakang. Masih tersisa lima lagi kursi yang kosong.
Alhamdulillah

Pagi ini menjadi pagi yang luar biasa untuk Lukman. Apa pasal?
Lihat saja, putri mentari belum keluar dari peraduannya. Mungkin masih malu-malu.
Ayam-ayam jantan pun masih belum tersadar dari mimpinya. Begitu pula suara azan Pak Umar, tetangganya yang saban subuh biasa mebangunkan tidurnya. Belum lah terdengar.  Namun sepagi ini alarm HP Nokia jadul telang meraung-raung memanggilnya.
Pukul 03.00
Bergegas dia bangun, merapikan kamar, berwudhu dan pamitan pada ibunya.
“Doain Lukman ya Bu, bisa lulus tes di Surabaya.”

“Turun mana Mas?” tanya kondektur.
“Terminal Pak. Terminal Bungurasih,” jawab Lukman seraya menyodorkan selembar uang lima puluh ribuan.
“Ini kembaliannya Mas.”
 Satu, dua, tiga...
Oh, dia baru tahu harga tiket ke Surabaya sebesar empat belas ribu rupiah. Empat ribu lebih mahal jika dibandingkan dengan menggunakan jasa kereta api. Sayang sekali, sehari sebelum berangkat tiket kereta yang hendak dia pesan ludes dipesan penumpang.
“Kalau hari Senin, suka habis duluan Mas.” kata pelayan tiket di stasiun.
Alamaak.

mengadu nasib di kotametropolitan
Lukman mencoba mengeluarkan HP Nokia miliknya.
Jika satu gerbong kereta ada 115 penumpang. Dikali 5 gerbong berarti  ada 575 orang yang pergi ke Surabaya dini hari ini.
Belum yang di bus ini atau bus yang lainnya.
Gila ini orang-orang. Apa sih yang mereka cari. Pikirnya.

Bagi Lukman, kota Surabaya ibarat magnet yang selalu memiliki daya tarikyang tidak ada habisnya. Bukan hanya karena kota ini memiliki ikon predator Ikan Sura dan hewan reptil Buaya. Tetapi juga kerena ada sosok yang dia kagumi selama ini. Sosok wanita yang telah mengubah wajah Surabaya menjadi lebih baik dan bermartabat.
Suatu saat nanti aku mau selfie dengan Ibunda Risma, gumamnya lirih.
Ngaco Man kamu ini...

Sudah sejam lebih Lukman duduk dalam bus. Riuh panggilan Subuh sudah lima menit berlalu.
“Kalau lancar, nggak sampai tiga jam Mas,” kata bapak berkaca minus di sebelahnya.
Dia bilang sudah tiga tahun kerja di Surabaya, Sabtu Minggu libur jadi bisa pulang kampung.

Ternyata benar cerita horor kawannya yang mengajar di Surabaya.
“Mending naik bus Mandala saja, tapi yang berangkat jam tiga,”
“Memang kenapa Kim?” tanya Lukman masih penasaran.
“Ah kamu Man, kayak ndak tau Surabaya aja to,” canda Hakim kental dengan logat khas Jawanya.
“Hmmm..”
“Lihat saja nanti pas lagi berangkat.” Lanjut Hakim.
Buktinya.

Jarum panjang jam tangan miliknya belum genap berputar 180 derajat penumpang bus ini malah makin padat. Dari tempat dia duduk sudah cukup terlihat berapa jumlah kursi yang berjejer rapat.
Ada 50 kursi dengan posisi dua dan tiga. Sedang 6 kursi sisanya berderet memanjang dari kiri ke kanan. Di tengah antara kedua posisi kursi, para penumpang yang lain berdiri berdesakan. Membuat pak kondektur sibuk maju mundur maju mundur ala Princes Syahrini, artis yang selalu bikin sensasi.
Lho kok jadi ngomongin orang!
Astaghfirullah

Sebuah cerita horor pernah dialaminya kala pulang dari rumah kawan. Bus yang dia tumpangi ternyata penuh sesak dengan penumpang sehingga memaksa dia untuk berdiri. Hanya ada besi melintang di atap bus tempat dia menyandarkan dua tangan.
Namun sayang, rasa kantuk berat sudah keburu menyerang. Jadilah dia terjatuh dengan dengan kepala membentur kursi penumpang.
Beruntung helm yang dia bawa masih menempel di kepala.
Buntungnya, justru suara benturan helm menarik pandangan mata penumpang di sekitarnya.
Aduh, malunya!!

Kini sebuah harapan menggelayut di benaknya. Harapan mendapatkan pekerjaan demi sebuah kehidupan yang lebih mapan. Di kampungnya yang terletak di Kabupaten Nganjuk pinggiran, mengandalkan gaji sebagai guru ngaji seperti seperti menunggu datangnya hujan yang tak pasti.
Perusahaan tempat dia melamar pekerjaan memanggilnya untuk datang.

Yah, antara Nganjuk Surabaya tergantung banyak harapan.
Dari orang-orang yang mengadu nasib demi sesuap makanan.
termasuk dari pemuda kampungan.
Yang bernama Lukman.

Nganjuk, 15 Maret 2016  

2 ulasan:

Popular Posts