Jumaat, 12 Februari 2016

MALAM JUMAT RIKO (1)
Oleh: Achmad Marzuqi
Tak pernah terbersit dalam benak Riko untuk hidup di dalam jeruji suci. Sebuah tempat yang mempunyai bangunan-bangunan kokoh berlapis tembok. Ruang-ruang tampak berjajar rapi, lengkap dengan kursi dan meja belajarnya, seperti kompleks sekolah.
Yang dia rasakan saat ini dia berkumpul dengan anak-anak seusianya, yang belum pernah dia kenal sebelumnya, baru. Pakaian yang dia pakai pun sudah berubah. Biasanya dia memakai pakaian bebas semaunya, kecuali jika hendak berangkat sekolah Dasar di pagi hari dan berangkat ke Taman Pendidikan Al Quran di sore hari. Kini, hanya tiga jenis pakaian yang dia pakai, jubah putih lengkap dengan pecinya, baju seragam tidur dan seragam sekolah, MI.
“Ko, hati-hati ya di sana nanti. Taati segala peraturan yang ada. Ayah dan ibumu mendoakan dari sini,” pesan ibunya.

Malam Jumat Riko 1 #Al Khairiyah
Di umurnya yang masih belia, 8 tahun. Riko belum bisa merasakan apa yang ibunya rasakan di balik ketegaran pesannya. Sebuah kecupan sayang dari sang ibu mendarat persis di keningnya. Sementara sang ayah hanya bisa mengelus rambutnya, mendoakan.
Tidak ada tas yang dia bawa, tidak pula koper besar layaknya orang bepergian jauh. Hanya kantong kresek merah berisi sarung untuk sholat, dua setel pakaian ganti dan uang sebesar 11.000 rupiah. Murah. Sangat murah. 
Perjalanan yang begitu jauh untuk ukuran anak seumurannya, Nganjuk-Sukabumi.
Dan rombongan itupun berangkat, rombongan anak-anak berjumlah 33 orang, dengan 3 atau 4 orang panitia pendamping.
“Ini talia rapia merah, jangan sampai lepas. Karena tali ini menjadi tanda rombongan ini,” kata seorang panitia seraya menalikannya pada pergelangan tangan kanan kami, sesaat setelah kereta api berangkat.
Dan hari itupun dimulai.
Sebuah pembelajaran pesantren berbasis tahfizhul quran dengan metodenya yang begitu ketat dan padat.
Mengaji dan menghafal Al Quran di setiap selesai shalat lima watu dengan durasi waktu yang telah terjadwal rapi, pagi harinya dia menjalani kegiatan belajar seperti umumnya anak-anak di luar, sekolah Madrasah Ibtidaiyah.
Menyenangkan sekaligus menegangkan, menguras air mata sekaligus memunculkan canda dan tawa.

“Asal tahu aja ya, di sana kayak surga lho. Makan disediakan, pakaian kotor dicucikan, kalau ada yang nangis malah dikasih susu, mau jajan ada semuanya. Pokoknya tinggal belajar, menghafal dan menghafal,” bujuk Pak Hudi, guru TPQ di kampung Riko melihat keraguan Riko yang mulai muncul.
“Riko takut Pak, nggak punya teman,” ujar Riko memelas.
“Kamu jangan takut Ko, banyak teman di sana ntar. Lagian dari sini kamu tidak akan sendiri. Ada Fuad yang juga ikut berangkat bersama kamu,” terang Pak Hudi.
Keberangkatan keduanya dari TPQ diiringi dengan doa dari semua guru dan santri.
“Kita sangat bangga dengan kalian berdua, karena dari seleksi di kecamatan minggu kemarin. Hanya kalian yang lolos mewakili TPQ ini,” kata Pak Anshori, pengelola TPQ berapi-api.
“Bayu, ayo dimakan nasinya,” Bi Huriyah berjalan mendekati anak-anak yang sedang makan.
Bayu masih terdiam, merunduk dan makin merunduk.
“Kenapa Bayu? Ibu suapin ya,” Bi Huriyah mengambil piring milik Bayu bersiap menyuapi. Bayu malah menangis.
“Bayu kenapa?” Bi Huriah menatap satu persatu anak-anak yang sedang makan. Mencari jawaban
“Bayu kangen rumah Bi,” Riko memberanikan diri, menjawab pertanyaan bibi.
“Oh, kangen rumah to. Gakpapa Yu. Ada bibi di sini,” kata bibi sambil menyeka air mata Bayu dengan kedua ibu jarinya, lembut.
Bi Huriyah yang biasa dipanggil bibi oleh anak-anak memang ditugaskan menjadi baby sitter di asrama lelaki. Perangainya yang lembut, penyayang dan perhatian membuat dirinya menjadi tempat curhat anak-anak. Rasa kangen orangtua yang sering timbul, sedikit terobati dengan kehadiran beliau. Dan itulah yang dirasakan anak-anak selama hampir sepekan di sini.
 “Besok malam, setelah maghrib kita tidak ada jam belajar di kelas,” bibi memberi pengumuman di sela-sela waktu menidurkan anak-anak.
“Horeee,” teriak anak-anak kompak.
“Kita libur, kita libur,” sambut yang lain girang.
“Dengerin dulu, bibi belum selesai bicara,” kata Bi Huriyah sabar.
Suasana mendadak diam
“Besok kalian harus berangkat  sebelum maghrib. Pastikan tidak ada yang telat.”
“Ke mana bu?” tanya Fuad mewakili anak-anak
(bersambung)
Nganjuk, 12 Feb 2016


0 ulasan:

Catat Ulasan

Popular Posts