Ahad, 14 Februari 2016

Mengenang Almarhum Ayah Sahabatku
di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, Kendatipun kamu di dalam benteng yang Tinggi lagi kokoh (Qs. An Nisa: 78)

Ajal, adalah satu di antara empat perkara yang telah ditetapkan Allah sejak lahir. Bahkan jauh sebelum lahir, ketika makhluk yang disebut manusia itu masih bebentuk segumpal darah yang berumur 120 hari dalam kandungan.
Ajal menjadi perkara yang tidak dapat dimundurkan kedatangannya, tidak pula dimajukan.
Benteng yang kokoh, gedung yang tinggi, hotel yang mewah Rumah Sakit VIP atau tempat yang paling aman sekalipun tidak akan mempu menghadang kedatangan ajal, jika waktunya telah tiba. Gubuk yang reot, rumah susun, rumah minimalis juga sama. Dan itu yang telah dialami oleh ayah sahabatku, hari ini.

Habib, Ahmad, Amir, Zaid. #Kitasahabat
Namanya Amirul Mukminin, aku mulai mengenal sahabatku saat bersama-sama di pesantren, Sukabumi, 1996. Sama-sama di bawah satu naungan atap, sama-sama dalam satu kelas, MI, MTs, MA hingga sama-sama maju dalam satu naungan kampus, Syamsul Ulum.
Babak cerita itupun dimulai, cerita suka ketika dinyatakan lulus sekolah, cerita suka kala mendengar nama-nama kita dipanggil sebagai wisudawan tahfizh Al Quran hingga cerita suka saat kita secara bersamaan lulus sebagai mahasisswa terbaik dalam satu jurusan.
Namun, ibarat mentari pagi yang tidak akan muncul kecuali setelah gelap malam. Atau cahaya purnama yang sempurna, yang tak muncul sepanjang bulan. Tidak ada yang instan. Tidak ada yang mudah. Hasil-hasil indah itu ada, setelah proses perjuangan, kala masih berstatus santri, hingga mahasiswa sampai menjadi guru.
“Maafin kesalahan bapak selama ini ya, selama beliau hidup,”
“kenapa beliau?” tanyaku sedikit menguap. Maklum saat aku lirik jam tanganku sudah pukul 00.20, larut malam.
“Beliau meninggal barusan,”
“Innalillahi wa inna ilaihi rojiun,” jawabku lirih. Aku bisa merasakan kesedihan yang sahabatku rasakan ini, kesedihan yang terpancar dari kata-katanya lewat telepon.
Seperti tak percaya, sebelumnya aku mampir ke rumahnya karena sebuah urusan. Dan almarhum adalah orang yang tak pernah sungkam untuk ikut ngobrol, bercengkrama, guyon. Serasa ketemu Kyai kondang Anwar Zahid kalau lihat beliau. Kini semua itu hanya tinggal cerita.
Ingatanku melayang pada medio April tahun 2006 silam. Sebuah kisah yang hampir mirip, saat kesedihan melanda gegara ditinggal orang yang paling aku cinta, my pappy, my father.
“Kamu nggak pulang, udah aja belajar di sana,” kata kakakku.
“Tapi aku benar-benar ingin pulang,” kataku mengiba.
“Udah, nggak usah. Di sini sudah banyak yang mengurus,” kakakku bersikeras.
Tak ada pilihan. Memang saat itu merupakan saat-saat krusial untuk pulang kampung. Sukabumi-Nganjuk bukan jarak yang dekat. Dan aku sedang berjuang untuk bisa lulus menembus UAN MAN.
Sepatutnya aku lebih bersyukur berada di posisi ketujuh dari 10 bersaudara. Ada banyak yang mengurus. Sementara sahabatku ini ada di posisi kedua dari 4 bersaudara.
Setali tiga uang dengan sahabatku yang lain, Abdul Jalil. Bahkan ayahnya telah meninggalkannya saat dia masih belajar di kelas 1 MTs. 2001. Persis enam tahun sebelum ayahku wafat. Umur yang seharusnya masih merasakan belaian kasih seorang ayah.
Tapi itulah ajal. Datang tak diundang, perginya diantar.
Kini hanya sebuah doa yang bisa aku panjatkan untuknya, almarhum.
اللهُمّ اغْفِرْلَه وارْحمه وعافه واعْف عنه ،،،،،،
Setidaknya apa yang disabdakan Nabi Muhammad SAW ini bisa menjadi sebuah penghibur
“Sungguh menakjubkan perkara orang yang beriman. Sesungguhnya semua perkara merupakan kebaikan bagi dirinya. Dan tidak didapati bagi seorangpun akan hal ini kecuali bagi orang mukmin. Jika dia mendapat nikmat dia BERSYUKUR maka itu menjadi kebaikan bagi dirinya. Jika dia ditimpa bencana, di BERSABAR maka demikian itu juga kebaikan bagi dirinya.” (HR. Muslim)
Nganjuk, 14 Februari 2016


0 ulasan:

Catat Ulasan

Popular Posts