Rabu, 24 Februari 2016

SEMAAN AL QURAN MANTAB:
REALITA KEHARMONISAN ULAMA dan UMARO
By: Achmad Marzuqi

Ada yang tak lazim dari acara Semaan Al Quran yang diadakan di desa tetanggaku kali ini, Pandantoyo (23/02) . Keadaan yang tak lazim menurut pandanganku namun bisa jadi lazim dalam pandangan orang lain. Bagaimana bisa ribuan orang mustamiin ini berkumpul di sebuah majelis terbuka, dari yang beroda dua, empat hingga kelipatannya.
Apa juga yang mengundang mereka bersusah payah datang ke sini.
Bukan perkara yang sulit untuk diungkap, karena posisiku berdekatan dengan acara yang sedang diadakan.
“Beeh, seribu lima ratus bungkus makanan habis dibagikan,” ujar mbakku mencoba berbagi cerita.
“Waw, banyak banget tuh,” sepontan aku menimpali.

“Barusan ada lagi yang datang, tiga elf dan satu mobil,” mbakku melanjutkan kisahnya.
Belum sempat aku memberi komentar, mbakku sudah nyerocos lagi, “sampai sampai Pak Anshori marah gegara makanan telah habis dibagikan dan yang barusan datang tidak kebagian kecuali sebotol air mineral.”
“Lho emang aturannya kan seperti itu,” kakakku ikut comment.
“Aturan apa Mas,” tanyaku masih bingung.
“Aturan pembagian konsumsi, jadi batas pembagian konsumsi itu jam sembilan pagi. Jadi jamaah yang datang setelahnya hanya dapat jatah makan siang dan malam,” kata kakakku memperjelas.
Aku hanya mengangguk pelan. Sedikit mulai faham.
Kalau nanti fahamku mulai bertambah, ingin rasanya mengangguk keras layaknya penyanyi dalam grup Project Pop, guk angguk angguk angguk angguk. Sambil memutarkan kepala. Gila.
Dasar aku memang kepo. Berbagai pertanyaan aku lontarkan, demi mengumpulkan informasi. Apalagi ada kata seribu lima ratus bungkus nasi habis terbagi. Dari mana?
Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakariya berkata: "Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?" Maryam menjawab: "Makanan itu dari sisi Allah". Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.(Qs. Ali Imron:37)
Kalau bicara tentang sumber rizki, ya pasti tidak ada yang membantah dialog di atas. Namun lewat perantara siapa?
“Emak tadi ngirim berapa bungkus?” tanyaku pada ibu.
“Lima bungkus nak,” jawab ibu lembut.
“Kalau Mbak Ul, Mbak Sur dan yang lainnya Mak?”
“Itu urusan masing masing nak, pokoknya udah dijatah di tiap RT,” sambung ibu.
“Oh gitu,” kataku.
“Minimal seratus bungkus untuk tiap RT,” ibuku melanjutkan.
Masa iya? Satu RT.
Hmmm..
Aku mulai menghitung hitung. Jika seandainya di desaku ada empat RW dan masing-masing RW mempunyai empat RT. Itu artinya total ada enam belas RT dikali seratus.
Waw, sudah ada seribu enam ratus bungkus untuk sarapan pagi. Itu baru dari satu desa, belum desa tetangga, desa penyelenggara.
Berapa ya?
Sebuah selebaran aku dapatkan dari tangan ibuku, selebaran yang bertanda tangan kepala desa. Isinya meminta kesadaran warga desa untuk ikut membantu memberikan sumbangan nasi timbel demi kelancaran Semaan Al Quran Mantab yang rutin diadakan pada hari Selasa Pon ini.
Mungkin ini adalah salah satu berkah, jika Ulama dan Umaro (pemerintah) bergandeng tangan. Maka segala rintangan dan masalah bisa terselesaikan.
Bukankah Semaan Al Quran Mantab ini gagasan Ulama?
Bukankah selebaran permintaan bantuan nasi timbel dari Umaro?
Ini hanya contoh dalam sekala kecil, sekala kabupaten. Jika sekalanya nasional, berkah dahsyat apalagi yang akan menanti?
Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya (Qs. Al Araf: 96)



Pandantoyo, 24 Februari 2016





0 ulasan:

Catat Ulasan

Popular Posts